Uud Pembangunan Rumah Di Bantaran Sungai

Uud Pembangunan Rumah Di Bantaran Sungai


Oleh:
Nurwino Wajib


TA. Pelatihan

OC 1 Provinsi Sumatera Utara

Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Permukiman kumuh dan liar memang tumbuh pesat di kota-kota besar di Indonesia, bahkan di Kota Metropolitan seperti Jakarta. Tidak terkecuali kota besar nomor 4 di Republic of indonesia, yang juga merasakan hal serupa, yaitu Kota Medan. Gambar di bawah ini adalah beberapa contoh pemandangan yang dapat dijumpai di Kota Medan.

Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota—yang disebut dengan kampung kota. Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (ilegal) apabila berada di bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk permukiman, seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya.

Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta maupun pemerintah, tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007).

Menurut Patrick McAuslan (1986), dalam Purnawan (2004), kehadiran permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam: (i) Massa permukiman liar yang diorganisir, (ii) keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka, (3) permukiman liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu permukiman membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun.

Sulitnya menangani masalah permukiman kumuh dan liar ini antara lain disebabkan oleh,
pertama,
highrise building
(bangunan tinggi) akan ditangani oleh penghuni yang tergusur, memerlukan biaya besar, karena biaya yang digunakan bukan hanya untuk membangun kamar tidur saja.
Kedua, peremajaan lingkungan kumuh, yang merupakan proyek yang besar (large project). Harga harus dipertimbangkan dengan matang dan harus dipikirkan masak-masak karena menyangkut banyak orang yang akan digusur atau dimukimkan kembali.
Ketiga, adanya dualisme antara peremajaan lingkungan dengan penataan lingkungan. Penghuni rumah kumuh biasanya masih lebih senang tinggal di rumah kumuhnya daripada di Rumah Susun Sewa (Rusunawa).
Keempat, banyak peremajaan lingkungan kumuh yang tidak melalui survei sosial (social survei) tentang karakteristik penduduk yang akan tergusur.
Kelima, banyak peremajaan lingkungan kumuh yang kurang memperhatikan kelengkapan lingkungan seperti taman, tempat terbuka, tempat rekreasi, sampah, pemadam kebakaran dan tempat bermain anak. Karena hal tersebut memerlukan biaya besar.
Keenam, tenaga yang bergerak pada program peremajaan lingkungan kumuh tidak profesional.
Ketujuh, penggusuran (squater clearance) sering diartikan jelek, padahal pemerintah berusaha meremajakan lingkungan dan memukimkan penduduk ke lingkungan yang lebih baik.
Kedelapan, keterbatasan lahan (land shortage). Dalam melaksanakan peremajaan lingkungan kumuh harus memilih lokasi yang tepat dan disesuaikan dengan tujuannya dan konsumen yang akan menempati.
Kesembilan, belum kuatnya dana pembangunan perumahan (no housing finance).
Kesepuluh, kebersamaan antarwarga masih minim.

Guna memahami dan merumuskan kebijakan masa depan, perlu lebih dahulu memahami berbagai upaya pengembangan perumahan dan permukiman yang selama ini telah dilaksanakan dengan memberikan evaluasi singkat. Akan nampak pula bahwa kebijakan di bidang perumahan dan permukiman yang telah dilakukan, dirumuskan dengan mengedepankan kepentingan politik dan bukan kepentingan sektoral.

Dalam UUD 1945 pasal 38 H ayat (one) disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Undang-Undang No. iv Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dijelaskan mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam hal Perumahan. Hak dan kewajiban tersebut adalah (1) setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan / atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; (two) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Dalam Panduan Ringkas UN-Habitat (2008) disebutkan bahwa hak atas tempat tinggal, sebagaimana dinyatakan dalam hukum internasional adalah kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup layak. Tempat tinggal yang layak menentukan taraf hidup sebuah rumah tangga dan pembangunan sosial dan ekonomi sebuah negara.

Permukiman kumuh dan liar (ilegal) ada karena kaum miskin tidak mampu atau dapat menjangkau pasar lahan dan perumahan formal. Banyak yang menghadapi hambatan dalam mengakses perumahan dan lahan karena waktu, birokrasi dan kesulitan yang ada. Oleh karena itu permukiman kumuh sebagai alternatif perumahan merupakan fakta yang tidak dapat dimungkiri.

Puntarasa (2009) menyatakan bahwa telah terjadi dikotomi antara aksesibilitas terhadap sumberdaya perumahan dan permukiman yang semakin mahal, dengan kebutuhan akan lokasi tempat tinggal yang aksesibel pada tempat kerja dan usaha, fasilitas umum dan pusat layanan publik. Diperkuat realitas tekanan sosial, ekonomi dan kependudukan, maka situasi inilah yang mendorong terjadinya konsentrasi perumahan dan permukiman yang padat, miskin dan kumuh. Penguasaan dan penggunaan lahan oleh warga masih banyak yang lemah dari sisi hukum dan administrasi seperti: bantaran sungai, pinggiran rel, tanah makam, tanah menganggur maupun lahan dalam status penguasaan atau pemilikan pihak lain.

Lalu, bagaimanakah upaya pemerintah dalam menangani permukiman kumuh dan liar ini?

Dalam paradigma lama dan kepentingan konvensional pembangunan perkotaan, lingkungan demikian sering berhadapan dengan masalah
penggusuran. Hal tersebut menjadi salah satu bentuk konflik sosial pembangunan dan pengingkaran hak dasar atas perumahan dan permukiman di daerah perkotaan. United nations-HABITAT dalam buku Panduan Ringkas untuk Pembuat Kebijakan mendefinisikan istilah penggusuran paksa sebagai pemindahan permanen ataupun sementara yang bertentangan dengan keinginan individu, keluarga dan/atau masyarakat dari tempat tinggalnya dan/atau lahan yang mereka huni, tanpa adanya ketersediaan, dan aksesibilitas, ke berbagai bentuk perlindungan hukum yang memadai.

Beberapa penggusuran dipandang absah secara hukum, tapi kebanyakan tetap menyebabkan pemiskinan dan penghancuran terhadap investasi atas rumah dan sistem pengamanan sosial sebagai dampak dari ‘penggusuran paksa’.

Ada beberapa alasan di balik penggusuran, antara lain, tingkat urbanisasi yang meningkat, proyek infrastruktur skala besar, kekuatan pasar, upaya mempercantik kota, dan peraturan yang tidak efektif. (Asian Coalition for Housing Rights, 2003)

Masalah penggusuran permukiman erat kaitannya dengan masalah kemanusiaan, karena perumahan adalah sebagian dari HAM, dan penggusuran merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM. Aspek hukum biasanya mempunyai sisi yang ‘berlawanan’ dengan aspek humanisme. Dalam hal ini diperlukan adanya tinjauan yang seimbang dalam melihat permasalahan penggusuran dari sisi hukum dan kemanusiaan.

Secara hukum (UUD 1945 pasal 28H, UU HAM dan UU Perumahan dan Permukiman), meningkatkan keamanan bermukim adalah strategi dalam upaya merealisasikan HAM, sebagai pemenuhan hak dasar warga negara atas rumah yang layak di lingkungan permukiman yang sehat.

Dalam kerangka kategori baru, permukiman kumuh dan liar bisa diberikan status tidak resmi (informal) dan kepadanya diberikan hak tinggal sementara. Penerbitan SK tinggal sementara yang dikeluarkan kepala daerah atau otoritas pemilik sah tanah (lembaga Negara, BUMN dan sebagainya) adalah contoh pemberian keamanan bermukim. Namun pemberian status tidak resmi dan hak tinggal sementara tidak berdiri sendiri, melainkan harus diiringi oleh pemenuhan hak pemberdayaan dan upaya perolehan tempat tinggal secara swadaya dan kerjasama dengan berbagai pihak.

Rahmadi (2009), menguraikan bahwa secara khusus dalam penanganan
squatters
(permukiman di atas lahan ilegal) baik di perkotaan maupun di luar perkotaan, maka bangunan apapun yang berdiri, direkomendasikan untuk dipindahkan/ direlokasikan ke lokasi yang lebih aman sesuai dengan rencana tata ruang yang ada, kecuali bangunan atau fasilitas kegiatan terkait dengan pengairan atau infrastruktur untuk kepentingan umum.

Bagi masyarakat
squatters
yang direlokasi atau dipindahkan, perlu disiapkan dulu lokasi atau kawasan yang sesuai dengan kebutuhan dan aksesibilitas yang cukup. Sedangkan penanganan
squatters
yang berada di luar kawasan garis sempadan sungai dan rel kereta api antara lain dilakukan dengan,
pertama, direkomendasikan status hak atas tanahnya menjadi legal (pemutihan) dalam bentuk hak sewa atau hak guna bangunan dengan batas waktu tertentu sepanjang kawasan tersebut sesuai dengan peruntukan tata ruang.
Kedua, melakukan penataan permukiman bantaran sungai melalui pemahaman konteks sosial dan budaya masyarakat setempat.

Dalam kasus tertentu, penggusuran memang dapat dihindari dan jaminan kepastian hukum dan perbaikan permukiman setempat merupakan solusi terbaik. Namun untuk kasus lain, penggusuran merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan. Pemerintah memang perlu mensosialisasikan masalah legalitas condition permukiman yang terletak di bantaran sungai atau bantaran rel kereta api.

Jika penggusuran dinilai sebagai solusi terakhir yang harus dilakukan, maka upaya ini juga mempunyai prosedur yang harus dijalankan, sehingga dampak yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Solusi penggusuran hampir dipastikan akan disertai dengan upaya relokasi atau pemukiman kembali.

Upaya permukiman kembali inilah yang menuntut pelibatan masyarakat secara aktif. Dalam hal ini, Panduan Pemukiman Kembali dari UN-Habitat dapat dipertimbangkan. Beberapa panduan tersebut antara lain, yaitu
pertama, melibatkan penduduk yang tergusur. Masyarakat akan lebih dapat menerima jika dilibatkan dalam seluruh tahap perencanaan permukiman kembali.

Kedua, masyarakat harus diorganisir. Masyarakat harus dirorganisir dan disiapkan agar mampu menegosiasikan bentuk pemukiman kembali yang baik, dan juga dapat membangun permukiman baru secara kolektif agar relokasi yang terjadi tetap memenuhi kebutuhan setiap warganya.

Ketiga, pemberian informasi mengenai kegiatan pemukiman kembali. Forum publik harus disiapkan jauh sebelum kegiatan pemukiman kembali, menjelaskan proses pelaksanaan, kondisi kepemilikan lahan, jumlah biaya yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dan pelayanan dasarnya.

Keempat, melakukan survei masyarakat. Sebaiknya survei lengkap dilakukan untuk membantu komunitas dan pihak terkait membuat keputusan mengenai siapa yang berhak atas kepemilikan lahan di tempat pemukiman kembali. Survei data yang diverifikasi oleh kedua belah pihak harus dilakukan untuk memastikan proses pemberian lahan yang adil dan transparan.


Kelima, menyiapkan rencana baru. Masyarakat memerlukan waktu dan pendampingan untuk mengorganisir dirinya pindah serta memilih tipe rumah sebagai dasar pertimbangan luas lahan yang dibutuhkan, tipe rumah, serta fasilitas dan ruang publik yang ingin didapatkan di permukiman baru. Jika lokasi baru telah ditentukan sebelumnya, maka rencana baru ini bisa dikaitkan dengan perencanaan kebutuhan calon penghuni di tempat yang telah ditentukan.

Keenam, memilih lokasi baru. Lokasi harus memiliki akses ke pelayanan dasar seperti air, listrik dan drainase, serta juga fasilitas seperti sekolah, klinik, tempat keagamaan dan transportasi publik. Pilihan lokasi baru harus disepakati oleh yang terkena dampak, sehingga lokasi yang ditetapkan ini dapat digunakan secara optimal.

Ketujuh, menyiapkan lokasi permukiman baru. Masyarakat boleh pindah ke lokasi permukiman barunya pada saat lokasi tersebut sudah difasilitasi dengan berbagai pelayanan dasar, perumahan dan sistem pendukung.

Kedelapan, pengorganisasian proses pemindahan. Kegiatan ini harus disepakati dan transportasi harus tersedia untuk membantu masyarakat membawa harta benda serta bahan bangunan yang dibutuhkan di permukiman barunya. Bantuan semacam ini sangat penting sebagai bagian dari upaya pemberian dukungan moral kepada korban penggusuran.

Sebagai kesimpulan, rumah adalah hak dasar dari setiap individu. Pemenuhan kebutuhan perumahan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Masalah yang sering timbul adalah bagaimana menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Dilema penggusuran permukiman liar terus bergulir dari waktu ke waktu. Tidak dapat dimungkiri, kesalahan ini tidak hanya terletak pada warga permukiman liar, namun juga Pemerintah yang telah memberikan “pengakuan” dan fasilitas kepada permukiman liar ini. Tinjauan dari sisi hukum dan humanisme di atas setidaknya dapat memberikan masukan kepada semua pihak bagaimana menangani kasus permukiman liar di perkotaan dengan atau tanpa penggusuran. Jika penggusuran merupakan pilihan terakhir yang harus dilakukan, pelibatan masyarakat dalam proses relokasi sejak awal sampai dengan pemindahan ke lokasi baru adalah hal yang mutlak diperlukan. Sehingga, dampak yang ditimbulkan dari penggusuran dapat diminimalkan. Semoga bermanfaat. [Sumut]

Editor: Nina Razad

Uud Pembangunan Rumah Di Bantaran Sungai

Source: https://kotaku.pu.go.id/view/3867/permukiman-kumuh-dan-liar-mau-diapakan

Read:  Penggusuran Rumah Warga Pinggir Sungai Ciliwung Ketika Mau Membangun Rusunawa

You May Also Like