Purwokerto (ANTARA) – Rumah merupakan tujuan untuk kembali pulang saat kesibukan telah menemukan batasnya dan keriuhan telah menyisakan kesunyian. Rumah ibarat lentera yang menawarkan terang saat gulita mulai merambati langit malam. Setiap individu tentu memiliki keinginan untuk tinggal di rumah yang nyaman dengan lingkungan yang asri yang dapat mendukung kesehatan fisik dan juga mental para penghuninya. Kebutuhan akan rumah yang nyaman bagi setiap keluarga menuntut ketersediaan bangunan rumah yang sehat, sederhana, hemat, produktif dan ramah lingkungan. Kendati demikian, selain mempertimbangkan faktor-faktor kesehatan, bangunan rumah, khususnya di Republic of indonesia, juga harus memenuhi kaidah-kaidah perencanaan dan pelaksanaan sistem struktur tahan gempa. Pemenuhan kaidah-kaidah itu diperlukan mengingat sebagian wilayah di Indonesia merupakan daerah dengan tingkat kejadian gempa yang tinggi. Bukan hanya untuk rumah tinggal, setiap bangunan yang akan didirikan tentu memerlukan perencanaan dan pelaksanaan sistem struktur yang tahan gempa. Terkait dengan hal itu, pakar rekayasa struktur dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Yanuar Haryanto, Due south.T., G.Eng menerangkan bahwa perlu upaya mitigasi untuk mengurangi risiko akibat gempa dengan cara meningkatkan kapasitas masyarakat dan juga dengan menurunkan tingkat kerentanan. Yang dimaksud adalah kerentanan akibat kualitas hunian yang buruk. Upaya untuk menurunkan tingkat kerentanan itulah yang melahirkan konsep rumah tahan gempa. Menurut dia membangun rumah antigempa dirasa kurang ekonomis, sehingga lahirlah konsep rumah tahan gempa yang diharapkan dapat menurunkan kerentanan akibat gempa. Dengan konsep itu kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa diharapkan tidak akan sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Terdapat taraf keamanan minimum untuk bangunan gedung dan rumah tinggal yang termasuk dalam kategori bangunan tahan gempa. Pertama, bila terkena gempa dengan kekuatan yang lemah, maka bangunan tidak mengalami kerusakan sama sekali. Kedua, bila terkena gempa dengan kekuatan sedang, maka bangunan boleh rusak pada elemen-elemen nonstruktural, tapi tidak boleh rusak pada elemen struktur. Ketiga, bila terkena gempa yang sangat kuat, bangunan tersebut tidak boleh runtuh, baik sebagian atau seluruhnya, bangunan tersebut tidak boleh mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Dalam artian bila bangunan mengalami kerusakan, kerusakan tersebut harus dapat diperbaiki dengan cepat sehingga dapat berfungsi kembali. Menurut dosen jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, bidang keahlian rekayasa struktur spesialisasi rekayasa kegempaan dan perbaikan/perkuatan struktur itu, dalam mitigasi gempa, tindakan pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan evaluasi cepat secara visual. Setelah itu, dilanjutkan berikutnya dengan tahap evaluasi kegempaan secara rinci melalui analisis struktur untuk mengetahui perilaku bangunan akibat gempa. Tindakan selanjutnya, kata dia, dilakukan melalui perbaikan dan pembongkaran. Jika fungsi bangunan tidak memenuhi syarat kelayakan dan tidak dapat dilakukan perbaikan karena dirasa tidak ekonomis, maka bangunan sebaiknya diruntuhkan atau diganti dengan yang baru.