Ritual Membangun Rumah Adat Jawa
Acara berdoa bersama termasuk tukang bangunan, sesaat sebelum
munggah molo. (Twitter/Kang Mahrus Ali)
Ritual munggah molo adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan saat mendirikan rumah. Tradisi ini penuh dengan makna serta pengharapan dari pemilik rumah.
Inibaru.id
– Tradisi yang masih lestari di kehidupan masyarakat Jawa sepertinya nggak ada habisnya ya,
Millens. Salah satunya adalah
munggah molo,
ritual yang dilakukan masyarakat Jawa saat mendirikan rumah.
Munggah
merupakan kata dalam Bahasa Jawa yang berarti naik. Sedangkan kata
molo
merupakan turunan dari
polo
yang artinya
sirah
atau kepala.
Munggah molo
pun dapat diartikan sebagai sebuah ritual yang mengiringi dinaikkannya atap saat proses pembangunan rumah.
Yang menarik dalam tradisi ini, sebelum dinaikkan, tiang tertinggi atap rumah terlebih dahulu dibungkus dengan kain berwarna merah. Nggak hanya itu,
munggah molo
juga dilengkapi dengan beberapa
ubo rampe
atau persembahan sebagai syarat dalam membangun rumah.
Awalnya,
ubo rampe
disiapkan dan disimpan di bagian dalam kerucut atap rumah yang akan dibangun. Setelah
ubo rampe
siap, calon pemilik rumah akan melakukan practice’a bersama dengan kiai atau ustaz, para tetangga, serta tukang yang membangun rumahnya.
Mengapa kain yang digunakan untuk membungkus
molo
harus berwarna merah? Ternyata, dulu orang Jawa percaya bahwa warna merah adalah simbol dari bahaya dan malapetaka. Pemilihan warna merah ini dianggap sebagai bentuk pengharapan agar terhindar dari malapetaka.
Kalau untuk jenis kain yang digunakan sih, nggak ada aturan khusus ya. Tapi, Kebanyakan orang Jawa menggunakan kain katun.

Dalam ritual ini, juga ada pemasangan susuk berbentuk jarum yang terbuat dari emas. Maknanya hampir sama dengan susuk pada tubuh manusia, yaitu untuk mengeluarkan aura kedamaian dan kenyamanan. Sehingga diharapkan nanti rumah dapat memberikan nuansa sejuk dan nyaman.
Kalau untuk
ubo rampe, pemilik rumah setidaknya wajib menyiapkan tujuh benda, yaitu tebu, seikat padi, kelapa, uang koin, jajanan pasar yang dilengkapi ayam ingkung dan pisang, pakaian, dan kendi air.
Kali aja kamu nggak tahu, masing-masing benda memiliki makna filosofisnya, lo.
Tebu yang dijadikan
ubo rampe
bermakna
mantebe kalbu
atau kemantapan hati. Maknanya, dalam membangun rumah, pemiliknya harus merasa mantap terlebih dahulu dalam memilih lokasi, bentuk bangunan, dan lain-lain.

Seikat padi atau dalam bahasa Jawa disebut
pari sak unting
dapat diartikan sebagai lambang rezeki. Adanya benda ini adalah simbol pengharapan agar pemilik rumah selalu dilapangkan rezekinya.
Sementara itu, kelapa dipercaya masyarakat Jawa memiliki filosofi “antarane wong omah-omah biso roso koyo santen kelopo”.
Maknanya, keluarga bisa selalu rukun dalam membangun rumah tangga.
Berikutnya, uang koin dalam tradisi
munggah molo
adalah uang yang didapat dari para tetangga secara sukarela yang kemudian disimpan di dalam kantong dan digantung pada
molo. Maknanya adalah setiap orang memerlukan bantuan orang lain.
O ya, jajan pasar, ayam ingkung, dan pisang dalam
ubo rampe
digunakan untuk persembahan dan simbol saling berbagi dengan tetangga. Sedangkan pakaian dalam
ubo rampe
dianggap sebagai simbol kecukupan rezeki.
Yang terakhir adalah kendi. Pada
ubo rampe
untuk
munggah molo, kendi adalah wadah yang akan diisi dengan beras. Kendi diibaratkan sebagai salah satu pasangan dalam keluarga. Bila salah satu di antaranya tidak jujur, maka wadah itu akan retak.
Wih, menarik dan penuh makna ya ritual
munggah molo
ini. Di tempat kamu tinggal, masih ada tradisi ini nggak,
Millens?
(Map, Vol/IB32/E07)
Ritual Membangun Rumah Adat Jawa
Source: https://inibaru.id/tradisinesia/ritual-penting-mendirikan-rumah-di-jawa-munggah-molo