Penggusuran Rumah Warga Untuk Pembangunan Bandara

Penggusuran Rumah Warga Untuk Pembangunan Bandara

Suasana di Kecamatan Temon, Kulon Progo, Yogyakarta, hujan deras. Suwarjo, menangis histeris ketika pohon kelapa dan beragam tanaman di halaman rumahnya tergusur buat bangun bandara New Yogyakarta International Airdrome (NYIA).

Suwarjo memeluk erat batang pohon, ketika akan dirobohkan alat berat. Isak tangis makin keras, bersamaan hujan dan angin. Ratusan polisi, tentara, satpol pamong praja dan Angkasa Pura I, terus bekerja. Mereka tak peduli tangisan Suwarjo dan puluhan warga lain.

Baca juga:
Temuan LIPI Perkuat Bukti Pembangunan Bandara Kulon Progo di Kawasan Rawan Bencana

“Tak punya hati nurani, mereka (aparat) dibayar dari pajak rakyat, tapi menindas rakyat,” kata Suwarjo.

Melihat pepohonan tetap tumbang, Warjo berguling-guling di tanah, sembari menangis. Hanya rumah miliknya tersisa, tanpa aliran listrik.

Hari itu, 28 November 2017, sekitar pukul nine.00 pagi, Desa Glagah dan Desa Palihan didatangi Angkasa Pura I, PT Pembangun Perumahan, dan PT Surya Karya Setiabudi. Alat berat masuk ke halaman rumah warga dikawal sekitar 200 personel Satpol PP, aparat kepolisian, militer, dan beberapa aparat tak berseragam. Aparat kepolisian membawa senjata lengkap laras panjang, gas air mata, dan stik pemukul.

Rumha-rumah yang sudah kosong, ditinggalkan warga pun mulai dirobohkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Beberapa hari sebelum itu,  secara sepihak PLN mencabut listrik di rumah warga yang menolak pembangunan bandara, termasuk Suwarjo.   “Silakan bandara dibangun. Jangan di lahan pertanian saya dan warga lain yang subur. Kami akan terus menolak bandara tanpa syarat,” katanya bercerita Rabu, (29/11/11).

Suwarjo berusia 58 tahun. Dia tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP). Sehari-hari dia petani sayur seperti cabai, jagung, gambas, terung dan buah seperti melon dan semangka. Begitu pula orang tua dia dulu, juga petani. Bagi Warjo, orangtuanya memberikan bukti, memiliki lahan bisa mencukupi kebutuhan hidup, lewat bertani.

Read:  Lebih Mahal Membangun Rumah Lantai Satu Atau Dua

Dia menolak pembangunan bandara tanpa syarat. Baginya,  lahan di Dusun Bapangan, Desa Glagah merupakan warisan leluhur dan terbukti subur. Dia akan wariskan ke anak dan cucu kelak. Warjo tak mau lahan jadi beton untuk bandara. Uang hasil konsinyasi Angkasa Pusa, yang dititipkan di Pengadilan Negeri Wates, tak pernah dia ambil. Dia akan berjuang terus.

“Hidup bertani
tentrem, nyaman dan mencukupi. Uang konsinyasi tak bisa menggantikan kerukunan dan pekerjaan kami sebagai petani,” katanya.

Tanah milik Warjo, seluas 840 meter persegi berdiri bangunan rumah dan pepohonan, serta sawah 1.500 meter persegi untuk bertani sayur dan buah. Pembangunan bandara, katanya, bikin resah dan tak bisa bertani. “Tanah dirampas. Kami dipaksa tak lagi bertani.  Jika dijanjikan bandara akan mensejahterakan warga, bertani sudah sangat sejahtera.”

Dari bertani cabai, setiap empat hari sekali petik, paling sedikit Rp3 juta. Sebulan, katanya, minimal Rp25 juta. “Belum lagi kami ikut mempekerjakan warga sekitar, jadi buruh tani harian. Mereka kami beri makan dan upah layak. Kami tentu lebih bermanfaat untuk publik, sedangkan bandara bermanfaat untuk investor.”

Warjo berharap, pemerintah dan Angkasa Pura I segera hentikan penggusuran. Jika ingin berdaulat pangan, katanya, jangan gusur lahan produktif petani. “Hidup dan mati akan tinggal di tanah kelahiran kami.”

Widodo, dari Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) meminta Presiden Joko Widodo, Gubernur Yogyakarta dan Kapolda menghentikan pembangunan bandara karena ada indikasi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Pembangunan bandara baru di Kulon Progo, katanya,  banyak memakan korban. Catatan dan pantauan PPLP-KP, Angkasa Pura telah menggusur paksa dengan dalih konsinyasi. Padahal,  warga tak pernah ikut proses konsinyasi, surat pengadilan tak pernah diterima. Dalih itu dipakai untuk jadi senjata, bahwa penggusuran sah.

Read:  Biaya Membangun Rumah Type 45 Jadi 2 Lantai 2023

“Ada sekitar 300 jiwa terancam kehidupan didominasi perempuan dan anak,” kata Widodo.

Menurut dia, upaya penggusuran paksa tak bisa dibenarkan, Angkasa Pura I melakukan praktik kekerasan dan pelanggaran HAM. Kondisi ini, katanya, membuktikan janji Presiden bahwa pembangunan infrastruktur tak boleh ada kekerasan terhadap warga, hanya bualan kosong.

“Warga ditindas, dilibas sampai diusir dari rumah.”

PPLP-KP, katanya, sesama pencari penghidupan dari tanah dan pertanian dengan tegas meminta penghentian pembangunan bandara dan mengusut tuntas kekerasan aparat kepolisian dan tentara terhadap warga penolak.

Cabai yang tumbuh subur di pesisir. Warga menolak dan tetap bertahan lahan mereka tak mau jadi bandara, tetai secara paksa, lahan sudah dirusak alat berat dari Angkasa Pura I. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

***

Wijiyanto, petani cabai, melon dan semangka di Desa Glagah, Temon. Dia marah ketika aliran listrik di rumahnya diputus sepihak petugas PLN, Selasa, (28/11/eleven). Pemutusan listrik dikawal ratusan aparat kepolisian bersenjata laras panjang dan gas air mata. Pepohonan di samping kiri rumah diapun habis, roboh oleh alat berat backhoe.

“Bayar listrik tak boleh telat. Memutus listrik warga sepihak, dikawal aparat senjata lengkap,” kata Wiji.

Listrik putus, warga pun hidup dalam kegelapan. Warga tak bisa mendapatkan air bersih, rata-rata mereka tidak menggunakan tali timba, tetapi pompa air.

Wiji bilang, penggusuran oleh Angkasa Pura, sudah berulang. Pada 27 November 2017, juga menggusur rumah dan pepohonan yang sudah ditinggalkan warga. Listrik dicabut sepihak, tanpa pemberitahuan. Rumah warga tergabung dalam PWPP-KP putus sepihak.

Pada 29 November 2017 pagi, rumah Wiji diputus paksa aliran listrik. Hari itu, ketika badai siklon tropis cempaka yang menyebabkan banjir dan longsor di beberapa daerah di Yogyakarta, warga di Temon, pesisir Selatan Jawa, termasuk Wiji, sedang tergusur.

Mereka kehilangan pepohonan penahan angin laut, membuat hujan deras bercampur angin kencang malam itu, merusak atap-atap rumah mereka. Bahkan warga keluar dari rumah ketika badai, ditambah gelap tanpa aliran listrik.

Read:  Game Membangun Rumah Seperti the Sims

Dia bilang, warga diminta kosongkan rumah pada 4 Desember 2017 tetapi mereka menolak dan tetap mempertahankan tempat ini.

“Mereka (polisi dan tentara) dibayar dari uang pajak rakyat, harusnya bela rakyat. Bukan membela investor yang merusak lahan produktif pertanian,” kata Wiji.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun bersuara dengan kejadian ini. Dewi Kartika, Sekjen KPA kepada
Mongabay
mengatakan, dari awal proses pembangunan bandara bermasalah.

Perencanaan serampangan tanpa ada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), padahal pembebasan lahan sudah berjalan dan masuk tahapan prakonstruksi.

Pemerintah, katanya,  ingin menguasai lahan terlebih dahulu, persoalan lingkungan dan sosial urusan belakang dan bisa diakali.  “Penyusunan dari pemrakarsa terkesan prosedural semata, tanpa perlu melibatkan, atau persetujuan bahkan keberatan warga,” katanya.

Tindakan aparat, katanya, jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Para Ibu-ibu, kata Dewi,  diseret hingga penangkapan warga hingga diborgol tangan.

Warga bertahan, katanya, karena  lahan pertanian subur, tempat bergantung hidup mereka. Warga pesisir Kulon Progo hidup dari hasil pertanian, seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan sayuran.  Mereka memasok sayur mayur dan buah-buahan ke daerah lain. “Lahan bakal tergusur itu daerah lumbung pangan.”

KPA, mendesak aparat segera hentikan tindakan sewenang-wenang. “Hak atas tanah warga tidak bisa diabaikan. Untuk apa pembangunan jika meminggirkan petani?” (Bersambung)

Alat berat merobohkan pepohonan di Desa Glagah dengan kawalan aparat. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Artikel yang diterbitkan oleh

Penggusuran Rumah Warga Untuk Pembangunan Bandara

Source: https://www.mongabay.co.id/2017/12/12/ketika-lahan-subur-warga-tergusur-demi-bandara-baru-yogyakarta-bagian-1/

You May Also Like