Pembangunan Rumah Khusus Di Konawe

Pembangunan Rumah Khusus Di Konawe

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Konawe
adalah kerajaan yang pernah berdiri di Kabupaten Konawe. Penduduknya adalah Suku Tolaki.[ane]
Raja-rajanya bergelar Mokole. Masa kejayaannya dicapai pada masa pemerintahan Mokole Tebawo.[2]
Pusat pemerintahan Kerajaan Konawe adalah di Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe.[3]
Kerajaan ini menggunakan sistem pemerintahan yang disebut
Siwole Mbatohu
dan
Pitu Dula Batu.[iv]

Masyarakat Kerajaan Konawe bekerja sebagai petani padi dan cempedak, peternak kerbau, dan pencari ikan.[5]
Kepercayaan awal masyarakat Kerajaan Konawe adalah animisme dan dinamisme, tetapi kemudian beralih beragama Islam.[6]
Kerajaan Konawe runtuh setelah rajanya yang bernama Larambe wafat pada tahun 1916 dan wilayahnya dijadikan wilayah Kerajaan Laiwoi.[7]

Pemerintahan

[sunting
|
sunting sumber]

Kerajaan Konawe merupakan kerajaan yang didirikan oleh Suku Tolaki. Pendirinya ialah Wekoila. Pada awalnya, pusat kerajaannya terletak di Desa Olo-oloho pada tepi Sungai Konoweha. Pusat pemerintahannya kemudian dipindahkan ke Unaaha.[3]
Pada masa pemerintahan Mokole Tebawo, wilayah kekuasaan Kerajaan Konawe mencakup wilayah Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kota Kendari.[8]

Pada masa pemerintahan Mokole Tebawo dibentuk sistem pemerintahan yang disebut
Siwole Mbatohu
dan
Pitu Dula Batu.
Siwole Mbatohu
adalah pembagian wilayah Kerajaan Konawe menjadi empat bagian, yaitu bagian barat, timur, utara, dan selatan. Bagian barat kerajaan konawe disebut
Tambo i Tepuli
dengan pemimpin bergelar Sabandara dan pusat pemerintahannya di Latoma. Bagian timur Kerajaan konawe disebut
Tambo i Losoano Oleo
dengan pemimpin bergelar Sapati dan pusat pemerintahannya di Ranomeeto. Bagian utara Kerajaan Konawe disebut
Bharata i Hanano Wuta Konawe
dengan pemimpin bergelar Ponggawa dan pusat pemerintahannya di Tonganua. Sedangkan bagian selatan Kerajaan Konawe disebut
Bharata i Moerino Wuta Konawe
dengan pemimpin bergelar Inowa dan pusat pemerintahannya di Asaki.[4]
Tujuan pembentukan
Siwole Mbatohu
adalah untuk memperlancar urusan pemerintahan Kerajaan Konawe yang memiliki wilayah yang luas. Penempatan seorang penguasa juga ditujukan untuk mencegah perselisihan dalam kerajaan dan menjaga wilayah perbatasan dari serangan kerajaan lain.[9]

Read:  Bahan Material Arsitektur Pada Bangunan Rumah Sakit

Berbeda dengan
Siwole Mbatohu,
Pitu Dula Batu
adalah kabinet kerajaan yang bekerja langsung dengan Mokole Tebawo. Kabinet ini terdiri dari
Sulemandara, Kotubitara, Anakia Mombonahuako, Tusawuta, Tutuwi Motaha, Kapita Anamolepo,
dan
Kapitalau. Sulemandra
bertugas sebagai perdana menteri dan pengatur urusan luar negeri. Urusan hukum peradilan kerajaan diserahkan kepada
Kotubitara.
Anakia Mombonahuako
mengurus urusan rumah tangga istana kerajaan. Urusan pertanian diserahkan kepada
Tusawuta. Tutuwi Motaha, Kapita Anamolepo, dan Kapitalau
bertugas dalam bidang keamanan kerajaan, tetapi dengan jenis wilayah yang berbeda.
Tutuwi Motaha
khusus bertugas mengamankan istana kerajaan.
Kapita Anamolepo
mengamankan wilayah darat kerajaan, sedangkan
Kapitalau
mengamankan wilayah laut kerajaan.[10]

Kerajaan Konawe membagi pemerintahan hingga ke tingkat kecamatan yang disebut
Pu’tobu. Para keturunan bangsawan diberikan tanggung jawab untuk mengelola
Pu’tobu
yang seluruhnya berjumlah 30. Para penguasa
Pu’tobu
meyampaikan urusan pemerintahan kepada
Siwole Mbatohu
di Latoma, Ranomeeto, Tonganua, dan Asaki. Sedangkan urusan adat dilaporkan kepada
Kotubitara
di
Wonggeduku.[eleven]
Kerajaan konawe juga menetapkan 3 daerah
Pu’tobu
di Abuki sebagai daerah istimewa, yaitu Asolu, Lasada dan Walay. Ketiga wilayah ini bertanggung jawab kepada putra mahkota untuk urusan adat dan bertanggung jawab kepada raja untuk urusan pemerintahan.[12]

Kehidupan Masyarakat

[sunting
|
sunting sumber]

Kegiatan utama dari masyarakat Kerajaan Konawe adalah bertani padi, mencari ikan, memelihara kerbau, dan berkebun cempedak. Pemanfaatan lahan sepenuhnya diatur oleh raja dengan membaginya untuk keperluan bertani, memelihara kerbau dan memelihara ikan. Seluruh tanah di Kerajaan Konawe menjadi milik raja dan dikelola oleh bangsawan, tetapi pembagiannya sama rata untuk masyarakat biasa.[5]

Keagamaan

[sunting
|
sunting sumber]

Pada awalnya, masyarakat Kerajaan Konawe menganut animisme dan dinamisme. Ajaran Islam mulai dikenal di kerajaan Konawe pada masa pemerintahan Mokole Tebawo pada abad ke-16. Utusan Kesultanan Buton yang bernama La Embo juga pernah mengajak Mokole Melamba menerima Islam, tetapi belum diterima. La Embo kemudian mendakwahkan Islam di Pulau Wawonii dengan mengajar cara menulis huruf Arab dan menciptakan aksara Laembo. Akhirnya Islam berkembang dan lembaga Islam didirikan. Anak dari Mokole Melamba yaitu Lakidende akhirnya diutus untuk belajar agama Islam di Pulau Wawonii sebelum menjadi raja. Toli-toli, Wanggudu dan Pelabuhan Tinanggea menjadi pusat dakwah Islam. Penyebarannya dilakukan oleh pedagang dari Kesultanan Bone, Kesultanan Soppeng, dan Kesultanan Gowa. Masyarakat juga mulai menerima Islam setelah kehadiran para pedagang muslim yang menuju ke perairan Maluku pada abad ke-18. Para pedagang muslim datang ke daerah Wawonii, Lasolo, Toli-Toli dan Tinanggea. Para pedagang ini berasal dari Kesultanan Buton, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Bone.[6]

Read:  Bangun Rumah Minimalis 2 Lantai

Setelah Lakidende menjadi raja dari Kerajaan Konawe, ia menerima Islam sebagai agamanya. Lakidende kemudian mengundang La Ode Teke dari Kesultanan Buton untuk mengajarakan Islam kepada masyarakatnya.[13]
Kemudian pada masa pemerintahan Lakidende 2, Islam menjadi agama resmi dari Kerajaan Konawe.[14]
Kerajaan Konawe kemudian menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya dan melarang hal-hal yang bertentangan dengannya.[fifteen]
Pembangunan dolmen dihentikan dan digantikan dengan pembangunan masjid. Selain itu, masyarakat juga mulai membuat makam yang sesuai dengan ajaran Islam.[16]

Keruntuhan

[sunting
|
sunting sumber]

Perselisihan di antara para bangsawan Kerajaan Konawe telah berlangsung sejak abad ke-19 M. Pada tahun 1906, seorang bangsawan dari Laiwoi bekerja sama dengan Hindia Belanda dan menandatangani sebuah perjanjian. Isi perjanjian tersebut adalah mengganti Kerajaan Konawe menjadi Kerajaan Laiwoi dan menjadi bawahan dari Hindia Belanda. Larambe sebagai raja Kerajaan Konawe bersama dengan para bangsawan diundang oleh Laiwoi dan Hindia Belanda. Dalam pertemuan itu, Laiwoi menyatakan keberpihakannya kepada Hindia Belanda. Larambe tidak menyetujuinya dan kembali ke Sambandete untuk mempersiapkan perang dengan Hindia Belanda. Bersama pasukannya, ia mendirikan benteng dan tugu di tepi Sungai Lalindu pada wilayah Linomoiyo. Namun pada tahun 1916, ia wafat sehingga perang dimenangkan oleh Belanda. Wilayah Kerajaan Konawe akhirnya dikuasai dan dijadikan wilayah Kerajaan Laiwoi.[vii]

Referensi

[sunting
|
sunting sumber]


  1. ^

    Handrawan 2016, hlm. 205–206.

  2. ^

    Aswati 2014, hlm. 43.
  3. ^


    a




    b



    Handrawan 2016, hlm. 205.
  4. ^


    a




    b



    Idaman 2019, hlm. 147.
  5. ^


    a




    b



    Gustian, Dedi et al 2014, hlm. 91.
  6. ^


    a




    b



    Aswati 2011, hlm. 96.
  7. ^


    a




    b



    Gustian, Dedi et al 2014, hlm. 91–92.

  8. ^

    Aswati 2014, hlm. 52.

  9. ^

    Aswati 2014, hlm. 45.

  10. ^

    Idaman 2019, hlm. 148.

  11. ^

    Aswati 2014, hlm. 47.

  12. ^

    Aswati 2014, hlm. 48.

  13. ^

    Aswati 2011, hlm. 100.

  14. ^

    Aswati 2011, hlm. 98.

  15. ^

    Melamba 2012, hlm. 275.

  16. ^

    Melamba 2012, hlm. 286.
Read:  Pidana Membangun Rumah Tanpa Ijin Pemilik Tanah

Daftar Pustaka

[sunting
|
sunting sumber]

Buku

[sunting
|
sunting sumber]

  • Gustian, Dedi; et al. (2014).
    Politik Ruang dan Perlawanan: Kisah Konflik atas Ruang di Tingkat Lokal. Bogor: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. ISBN 978-602-71333-0-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal
    2020-08-22
    .



Jurnal

[sunting
|
sunting sumber]

  • Aswati, Chiliad (Desember 2011). “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Kerajaan Konawe”
    (PDF).
    Selami IPS.
    one
    (34): 92–103.



  • Aswati, M (Agustus 2014). “Strategi Politik Pemerintahan Siwole Mbatohu dan Pitu Dula Batu di Kerajaan Konawe pada Abad ke XVII”.
    Selami IPS.
    2
    (twoscore): 42–52.





    [
    pranala nonaktif permanen
    ]

  • Handrawan (September 2016). “Sanksi Adat Delik Perzinahan (Umoapi) dalam Perspektif Hukum Pidana Adat Tolaki”.
    Perspektif.
    21
    (3): 199–210.





    [
    pranala nonaktif permanen
    ]

  • Idaman (Maret 2019). “Relasi Kuasa-Pengetahuan dalam Sistem Ketatanegaraan di Kerajaan Konawe Abad Ke-XVII: Telaah Epistemologi Siwole Mbatohu”.
    Halu Oleo Constabulary Review.
    3
    (1): 132–156. doi:10.33561/holrev.v3i1.6076. ISSN 2548-1754.



  • Melamba, Basrin (2012). “Interaksi Islam dengan Budaya Barasandi dan Aktivitas Sosial Keagamaan Orang Tolaki di Sulawesi Tenggara”.
    El Harakah.
    14
    (one): 268–292. ISSN 2356-1734.





Pembangunan Rumah Khusus Di Konawe

Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Konawe

You May Also Like