Membangun Rumah Tangga Ekaristi.org

Membangun Rumah Tangga Ekaristi.org

Foto - TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB KELUARGA KRISTIANI (Oleh : Anton ML, S.Fil/Penyuluh Agama Kantor Kemenag TTU)

ane.1. KELUARGA SEBAGAI TEMPAT PENDIDIKAN PERTAMA NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Dalam  sebuah sarasehan keluarga yang diselenggarakan oleh Komisi Keluarga KWI, ditekankakan tentang peran keluarga sebagai pendidik nilai-nilai dasar kemanusiaan.  Sarasehan itu bertopik ”Membangun Keluarga Katolik di Zaman Mod” menekankan pentingnya suasana damai dalam keluarga yang dikuatkan dengan iman, cinta dan harapan yang kokoh. Hal tersebut disimpulkan Pater Yeremias Bala Pito, dalam sebuah puisi sebagai berikut :

Empat Lilin.

Ada empat lilin yang menyala,

Sedikit demi sedikit habis meleleh

Suasana begitu sunyi

Sehingga terdengarlah percakapan mereka

Lilin pertama berkata :

“ Aku adalah Damai “

Namun manusia tak mampu menjagaku

Hati mereka membeku dan membatu dalam kebencian

Maka lebih baik aku mematikan diriku sendiri. !

Demikianlah sedikit demi sedikit sang Lilin Damai padam.

Lilin Kedua berkata :

” Aku adalah Iman “

Sayang,  aku tak berguna lagi.

Manusia saling mencurigai dan tertutup

Untuk itulah tak ada gunanya lagi

Aku tetap menyala.

(Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya).

(Dengan sedih Lilin ketiga bicara) :

“ Aku adalah Cinta “

Tapi aku tak mampu lagi untuk tetap menyala

Manusia tidak lagi memandang dan menganggapku berguna

Mereka saling membenci, bahkan membenci orang

Yang mencintainya, membenci keluarganya

(Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah lilin ketiga)

(Dengan mata bersinar,  Sang anak mengambil lilin lainnya).

Dia berkata :

Apa yang tidak pernah boleh mati, hanyalah HARAPAN

yang ada dalam hati kita…..

Dan masing-masing kita semoga dapat menjaga agar,seperti sang anak tersebut,  yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan dan menyalahkan kembali Damai, Iman, Cinta dan harapan.

            Empat hal pokok bernuansa biblis sebagaimana terkandung dalam puisi “Empat Lilin” di atas, betapa tidak menyalakan sepercik api kesadaran Keluarga-keluarga Katolik dewasa ini untuk terus berupaya mencari kedamaian tatkala badai dan gelombang zaman ini menerpah keharmonisannya. Dua unsur lain yakni Iman dan Cinta, hendaklah menjadi landasan hidup setiap Keluarga dalam mencermati tawaran nilai yang disuguhkan teknologi masa kini. Dan akhirnya, dalam doa keluarga yang terus- menerus yang berpuncak pada sakramen Ekaristi kudus, setiap keluarga Katolik mempunyai pengharapan yang kokoh untuk terus mengayun langkah menuju masa depan yang bahagia dan sejahtera.

 Dalam upaya meningkatkan peran, tugas dan fungsi keluarga, banyak komponen yang memberikan perhatian atas caranya masing-masing.  Keluarga sebagai tempat menabur dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan sejak awal  menjadi amat penting karena hanya keluarga yang melahirkan anak-anak sebagai generasi baru, pewaris cita-cita dan perjuangan masa depan bangsa dan gereja.  Dan keluarga itu sendiri menjadi unsur utama dalam kehidupan gereja Yesus Kristus.

Keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, searah dengan perkembangan zaman, semakin ”dibebani” dengan berbagai tugas dan tanggungjawab, terutama dalam hal mendidik anak-anak.  Kini semakin mendesak ayah dan ibu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam keluarga, di samping tugas-tugas lainnya. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar anak-anak berkembang menjadi manusia  yang cerdas, berkarakter baik serta matang dalam kepribadiannya.  Sementara pengaruh sosial dan aturan negara makin menentukan pendidikan, semakin penting pula menegaskan peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama.  Tugas dan tanggungjawab utama keluarga (orang tua) yakni membangun keyakinan dalam diri anak dan meneguhkan tekad dan prinsip moral-religius serta hal-hal lain yang membuat hidup bermakna dan bahagia.

Peranan, tugas dan tanggungjawab keluarga sebagai tempat persemaian benih-benih iman dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya mendapat perhatian istimewa dari para pimpinan gereja.  Amanat Apostolik ” Familiaris Consortio” 1981 dari Paus Yohanes Paulus 2 dalam Piagam Hak-hak Keluarga mengatakan salah satu hak keluarga adalah ”hak untuk bertanggungjawab atas penerusan hidup dan mendidik anak”.  Penerusan hidup (prokreasi) dan tanggungjawab mendidik anak menjadi hak sekaligus tugas dan tanggungjawab setiap keluarga. Bahkan hak mendidik anak-anak dalam keluarga merupakan hak yang esensial sebab berhubungan dengan hal meneruskan hidup manusia.  Dalam dan melalui keluarga setiap anak belajar menjadi pribadi yang matang dalam suatu proses yang berkesinambungan.  Anak-anak melihat, merasakan dan mengalami suasana hidup bersama keluarga.

Dalam mengemban tugas dan tanggungjawab sebagai pendidik pertama dan utama, keluarga ”menanamkan” nilai-nilai yang paling mendasar dalam hati dan pikiran anak-anak dalam suasana cinta yang tak bersyarat, sebagai sumber dan dasar pendidikan anak-anak.  Dalam tugas mendidik dan membesarkan anak-anak, ” keluarga merupakan suatu sekolah untuk memperkaya kemanusiaan, supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kasih, kesepakatan suami-isteri dan kerja sama yang tekun dalam pendidikan anak-anak”.

i.2. KELUARGA SEBAGAI “ECLESIA DOMESTICA” ( GEREJA RUMAH TANGGA)

Keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan utama merupakan salah satu gagasan penting Konsili Vatikan II yang terus dikembangkan dan mendapat perhatian khusus dari Paus-paus selanjutnya.  Gagasan tersebut amat erat kaintannya dengan konsep tentang Gereja yang berkembang.  Kata ”Gereja” yang berasal dari kata Yunani ”kyriake oikia”, artinya ”keluarga Allah”.  Dengan rumusan gereja yang dimengerti sebagai ”Keluarga Allah” ada dimensi kesatuan, persekutuan, cinta kasih.  Komunitas yang menjadi dimensi keluarga.

Nilai-nilai mendasar kehidupan gereja sebagaimana digambarkan, sama  dengan keluarga dibangun atas dasar cinta kasih sebagaimana gereja didirikan diatas dasar Kasih Kristus sebagai pendirinya.  Oleh sebab itu pula, Konsili Vatikan II menggambarkan Keluarga Kristiani dengan menyebutnya sebagai ”Gereja Domestik” atau gereja rumah tangga.  Dalam gereja rumah tangga  tersebut, hendaknya orang tua (ayah dan ibu) dengan kata-kata, teladan dan kesaksian hidup lainnya menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak serta mendidik anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang matang dalam segala aspek hidup.

Read:  Vidio Bangunan Rumah Yang Bermisteri

Sejalan dengan konsep Keluarga Kristiani sebagai Gereja Rumah tangga,  dari Konsili Vatikan Ii, Paus Paulus VI dalam salah satu pembicaraannya di Equipes Notre-Dame tahun 1970 menyatakan bahwa ”bagi pasangan suami-isteri kristiani, pernyataan-pernyataan kelembutan mereka pun dapat diresapi dengan cinta kasih yang bersumber dari hati Allah, sumber  cinta kasih manusiawi hanya mendapat kepenuhannya dari Kasih Allah yang tak akan habis, karena kedalaman kelembutan Allah tak ada batasnya”.

Selanjutnya, tema tentang keluarga sering muncul dalam sinode para Uskup di Roma.  Pada salah satu sinode pada tahun 1980, tema keluarga sebagai ”Gereja Rumah Tangga”  menjadi perhatian para uskup.

Dari seluruh proses sinode, ada dua hal yang sangat penting.  Pertama, keluarga kristiani hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan gereja, yakni sebagai Gereja rumah tangga. Gereja merupakan model keluarga kristiani.  Kedua, Keluarga kristiani berkat sakramen perkawinan, memperlihatkan aspek rahmat; suatu ikatan baru yang bersifat adikodrati di samping aspek sosial psikologis.

Tema keluarga sebagai gereja rumah tangga sebagaimana menjadi pusat perhatian para pemimpin gereja, secara khusus mendapat perhatian Paus Yohanes Paulus 2.  Dalam Amanat Apostoliknya ”Familiaris Consortio” 1981, Paus Yohanes Paulus II memberi tekanan secara khusus pada keluarga kristiani sebagai ”Gereja Rumah Tangga”.

Di antara tugas-tugas mendasar keluarga kristiani, keluarga dipanggil untuk pengabdian demi pembangunan kerajaan Allah dalam sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi gereja.  Untuk lebih memahami dasar, isi dan ciri-ciri khas keikutsertaan itu, kita harus meneliti sekian banyak ikatan mendalam, yang menghubungkan gereja suatu ’Gereja kecil’ (Ecclesia Domestica = gereja rumah tangga), sedemikian rupa sehingga dengan caranya sendiri, keluarga menjadi lambang yang hidup dan penampilan historis bagi misteri gereja..”,Sebagaimana dikutip oleh Maurice Eminyan dalam Teologi Keluarga.  Melalui keluarga sebagai gereja rumah tangga, gereja secara nyata melaksanakan karya keselamatan dari Allah secara lebih nyata. Hal itu berarti, gereja rumah tangga melaksanakan tugas Gereja universal secara lebih konkrit, yakni tugas pewartaan, pengudusan dan penggembalaan.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Paus berbicara tentang ketaatan iman, yang hendaknya diberikan oleh pasangan suami-isteri kepada Allah. Dalam ketaatan iman tersebut, hemat penulis, keluarga Katolik dapat berperan aktif sebagai pembina iman anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangan diri anak menuju kematangan yang bersifat personal.  Praktek-praktek doa dan perayaan-perayaan sakramental lainnya harus nampak secara lebih nyata dalam keluarga dan berpuncak pada ekaristi sebagai puncak dan pusat hidup keluarga itu sendiri.

 1.three. KELUARGA DAN TRITUGAS KRISTUS

1.iii.ane   Tugas Kenabian

            Tugas ini berkaitan erat dengan pewartaan.  Para Nabi Perjanjian Lama mewartakan kerajaan Allah dan memperjuangkan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kedamaian sesuai situasi yang mereka hadapi. Selanjutnya, pada masa Perjanjian Baru, Kristus sendiri tampil sebagai ”Nabi Agung” yang memaklumkan Kerajaan Bapa-Nya dengan kesaksian hidup dan kekuatan sabdaNya. Kristus menunaikan tugas kenabian-Nya hingga penampakan kemuliaan sepenuhnya bukan saja melalui hierarki, melainkan juga melalui para awam.

            Dalam konteks keluarga sebagai gereja mini dalam tata dunia yang berubah dan terus berkembang, tugas kenabian menjadi penting dan bahkan semakin mendesak.  Di tengah dunia global dengan segala tawaran nilai,  keluarga mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk mewartakan sabda Allah sebagai kebenaran sejati yang memerdekakan. Oleh sebab itu pula, keluarga bersama hierarki gereja dengan Paus sebagai kepalanya, melaksanakan misi kenabian dalam situasi konkrit manusia, terutama dalam dan melalui keluarga itu sendiri.

            Mengenai tugas kenabian dan karya-karya Roh Kudus, Konsili Vatikan Two dalam Konstitusi Dogmatis  Lumen Gentium tentang gereja mengajarkan, ”Umat Allah yang kudus mengambil bagian juga dalam tugas kenabian Kristus, dengan menyebarluaskan kesaksian hidup tentang-Nya, terutama melalui hidup iman dan cinta kasih…”.

Ajaran Konsili tersebut di atas secara khusus menekankan pentingnya kesaksian hidup. Keluarga, sebagai tempat pendidikan nilai-nilai pertama diberikan tugas dan tanggungjawab untuk memberikan kesaksian hidup tentang Kristus yang diimaninya, terutama bagi anak-anak.  Hal itu berarti pula bahwa keluarga menunjukkan pola hidup Kristus yang berani mengorbankan diri-Nya demi keselamatan orang yang di cintai-Nya.  Pengorbanan tanpa syarat, terutama dalam proses pendidikan iman anak-anak bagi keluarga menjadi sebuah keharusan.  Keluarga sudah sepatutnya ”menjadi nabi” bagi anak-anak dengan mempedomani sabda Tuhan sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci.

ane.three.2   Tugas  Pengudusan

            Konsili Vatikan Ii dalam dokumen yang sama menyebut gereja sebagai ”Persekutuan”  iman, harap dan kasih; persekutuan persaudaraan orang yang menerima Yesus Kristus dengan iman dan cinta kasih.  Maka sesungguhnya Roh Kuduslah yang menciptakan persekutuan umat beriman dengan menghimpun mereka dalam Kristus sebagai prinsip kesatuan Gereja. Gereja juga dibentuk karena perpaduan unsur manusia dan unsur ilahi yang dijiwai oleh Roh Kudus dalam seluruh karyanya. Kesatuan gereja bukan hanya karya Roh Kudus, tetapi juga hasil komunikasi antar manusia di antara para anggota gereja. Komunikasi iman ini terjadi terutama dalam perayaan iman.

Gereja sebagai persekutuan iman, harap dan kasih, melaksanakan tugas pengudusan secara lebih nyata dalam keluarga sebagai ”Gereja rumah tangga”. Sebab semua karya, doa-doa dan usaha kerasulan mereka, hidup mereka selaku suami-isteri dan dalam keluarga, jerih payah mereka sehari-hari, istirahat bagi jiwa dan badan mereka, bila dijalankan dalam Roh, bahkan beban-beban hidup bila ditanggung dengan sabar, menjadi kurban rohani, yang dengan perantaraan Yesus Kristus berkenan kepada Allah.  Kurban itu dalam perayaan ekaristi, bersama dengan persembahan tubuh Tuhan, dipersembahkan kepada Bapa.

Read:  Anies Janji Bangun Rumah Ambles Di Bantaran Kali Pademangan

            Pada bagian lain, Kitab Hukum Kanonik menekankan, bahwa secara khusus orang tua mengambil bagian dalam pelayanan pengudusan dengan hidup berkeluarga dalam semangat kristiani serta mengusahakan pendidikan kristiani anak-anak mereka. Katekismus Gereja Katolik  menekankan bahwa baik doa-doa dan semua  karya pelayanan, bahkan segala tugas dan tanggungjawab, merupakan upaya pengudusan diri, sekaligus kurban yang berkenan di hadapan Allah.  Bahkan tanggungjawab pendidikan anak-anak dalam keluarga menjadi bagian tak terpisahkan dalam pelayanan pengudusan.

1.iii.three   Tugas Rajawi (Tugas Pelayanan)

            Tugas Kristus sebagai Raja segala raja adalah melayani.  Tugas melayani dilaksanakan Kristus dengan ketaatan mutlak pada Bapa-Nya.  Seluruh perutusan-Nya di dunia berpusat pada pelayanan bagi manusia.  ”Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”. (Mrk x:45). Sikap dasar Kristus tersebut menjadi dasar pengabdian gereja sepanjang zaman. ”Barang siapa menyatakan diri murid Kristus, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (i Yoh two:6).

            Pelayanan ”Gereja Kecil” (Gereja Domestik) yang beranggotakan ayah, ibu dan anak-anak berciri religius.  Sebuah pelayanan yang berlandaskan cinta yang tak bersyarat dan bersumber pada sabda Allah sendiri.  Pelayanan keluarga juga pelayanan gereja universal berciri khas kesetiaan. Keluarga setia kepada Kristus sebagai Tuhan dan Guru. Selanjutnya, setiap pelayanan, baik Gereja universal (Umat Allah) maupun keluarga berciri partisipatif.  Pelayanan atau apapun rumusannya, merupakan partisipasi dalam sengsara, wafat dan penderitaan Kristus.  Pelayanan Gereja tertuju terutama kepada mereka yang paling membutuhkan perhatian, yaitu kaum miskin dan anak-anak sebagai bagian terbesar dalam gereja Yesus Kristus.

1.four. PRAKTEK PENGEMBANGAN IMAN DALAM KELUARGA

Iman sebagai jawaban pribadi atas pewahyuan Diri Allah dalam Yesus Kristus merupakan kekuatan dan fondasi keluarga dalam melaksanakan fungsinya.  Sebab melalui keluarga sebagai ”gereja mini” pendidikan iman dalam proses menuju kematangan personal dapat terwujud.  Bagaimana praktek pengembangan iman anak dalam keluarga, berikut ini merupakan beberapa catatan penting bagi keluarga untuk diperhatikan.

1.iv.1. Pelayanan akan Gereja melalui Keluarga

Keluarga sebagai ”lahan subur”, di mana benih-benih iman, moral dan religius ditabur dalam hati anak-anak.  Dalam keluarga terjadi interaksi sosial sebagai ciri khas manusia.  Interaksi sosial religius terjadi lewat kata-kata sebagai media komunikasi. Oleh sebab itu pula, kata-kata dan setiap bahasa yang dipakai dalam komunikasi amat berperan, baik bagi anak-anak maupun orang tua sebagai pendidik dan pembina iman.

Gereja sebagai persekutuan umat beriman Kristiani memberi dukungan penuh kepada setiap keluarga Kristiani dalam tugas perutusannya mendidik anak-anak.  Konsili Vatikan II menekankan pentingnya pendidikan iman anak dalam keluarga, sebagaimana ditegaskan kembali Paus Yohanes Paulus Ii dalam surat Apostoliknya Familiaris Consortio, bahwa tujuan utama pendidikan kristen adalah pemahaman tentang misteri keselamatan dan semakin meningkatnya kesadaran iman.  Di samping itu pendidikan kristen yang berawal dalam keluarga juga bertujuan agar peserta didik (baca : anak-anak) belajar menyembah Allah Bapa dalam roh dan kebenaran.  Hal itu dapat terjadi melalui doa-doa dalam keluarga yang berpuncak pada perayaan liturgi gereja.

1.4.2. Menjadi ”Tokoh Panutan” bagi Anak-anak

Upaya penanaman nilai iman  dan religius dalam keluarga tak dapat dilepaspisahkan dari keluarga sebagai ”tokoh panutan” yang tidak hanya mendidik dengan kata-kata semata.  Tampilnya ayah dan ibu sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga menuntut kualitas diri yang memadai.  Sebab hanya pendidikan dan pembinaan yang berkualitas dapat menghasilkan pribadi-pribadi peserta didik (anak-anak) yang berkualitas pula.

Upaya dan prinsip hidup yang berorientasi pada pertumbuhan iman yang matang dalam diri anak-anak, menjadi landas pijak bagi keluarga untuk terus meningkatkan introspeksi dan refleksi atas pengalaman, sudah sejauhmana keluarga (ayah dan ibu) tampil sebagai ”tokoh panutan” anak-anak.  Dalam konteks ini, konsistensi antara apa yang diperjuangkan dengan prinsip yang baik dan benar dalam mendidik iman anak menjadi suatu keniscayaan.  Sikap konsisten sebagai salah satu syarat menjadi ”tokoh panutan” mestinya muncul secara konkrit dalam contoh-contoh yang dapat dilihat. Anak dapat melihat, mengalami dan merasakan suasana kondusif keluarga yang dapat memungkinkan proses pertumbuhan iman mereka.  Dalam hal ini, disiplin dan komitmen yang kuat amat di butuhkan.  Disiplin diri dalam diri anak-anak menurut psikolog anak dan remaja, Singgih D. Gunarsa, dalam psikologi untuk membimbing, sudah mulai terbentuk, apabila anak sudah dapat bertingkah laku sesuai dengan pola tingkah laku yang baik dan benar. Hal itu juga, kata dia, erat kaitannya dengan penerimaan ”Otoritas” (Kuasa moral) orang tua sebagai pendidik. ”Anak yang menerima otoritas orang tua, akan melakukan tugas-tugas yang diinginkan dari padanya.  Bila sudah terbiasa akan ”otoritas” orang tua, maka pada tahapan pendidikan selanjutnya, otoritas guru di sekolah juga dapat diterimanya”. Dalam hal ini sikap konsisten orang tua dan juga para pendidik lainnya amat berperan terhadap penerimaan anak terhadap otoritas orang tua.

            Selanjutnya Gunarsa memberikan petunjuk tentang bagaimana menanamkan disiplin diri anak.  Disiplin diri anak-anak dapat dipupuk dan di tumbuhkan dengan memberikan semacam tata tertib yang mengatur hidup mereka. Tata tertib tersebut disertai pengawasan (tanpa menimbulkan rasa takut), dan pengertian agar dapat terjadi proses internalisasi (peresapan) nilai-nilai dalam diri anak.

Read:  Jenis Atap Rumah Yg Tersedia Di Master Bangunan

            Upaya pengembangan iman anak dalam keluarga tidak terlepas pula dari religiositas yang menjadi corak dasar keluarga kristiani.  Religiositas Katolik dalam keluarga sebagai gereja rumah tangga perlu dibangun dalam upaya mewujudkan kematangan dan kemandirian iman.  Keluarga (ayah dan ibu) sebagai ”tokoh panutan” berperan aktif menumbuhkan religiositas anak dengan semangat cinta sebagai basicnya.

            F.X. Didik Bagiyowinadi,  dalam bukunya Mendidik anak secara Katolik  mengatakan bagaimana cara orang tua (suami-isteri) mendidik anak-anak menjadi orang Katolik sejati.  Dari antara pelbagai upaya, Pastor Didik mengetengahkan tiga hal berikut:  Pertama, ”Kebiasaan pergi ke Gereja”.  Kebiasaan membawa anak ke Gereja terutama agar mereka dapat melihat, merasakan serta berpartisipasi dalam perayaan ekaristi atas perannya yang khas.  Kedua, Menumbuhkan Semangat Misioner : 2D2K (doa, derma, kurban, kesaksian).  Anak-anak sejak kecil dididik untuk tidak berpikir egois, tetapi berani diutus untuk menjadi rasul-rasul kecil yang memiliki kepedulian pada orang lain.  Dalam hal ini, Sekolah Minggu Serikat Kerasulan Anak Misioner (SEKAMI) dan Putera-puteri Altar menjadi wadah sosialisasi nilai religiositas anak.  Semangat misioner tersebut,  menurut Pastor Didik dapat diwujudkan melalui 2D2K (doa, derma, kurban, kesaksian)”.

            Selain melalui dua cara di atas, upaya menumbuhkan religiositas dalam diri anak dapat dilakukan dengan memperhatikan Tradisi/kebiasaan-kebiasaan Katolik dalam Keluarga.  Kebiasaan menempatkan salib, Patung dan gambar orang Kudus dalam keluarga, doa bersama dan ziarah ke tempat-tempat khusus (Gua Maria, dll), juga erupakan hal-hal penting yang dapat dijadikan wahana pertumbuhan religiositas, tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang tua.

1.4.2. Menjadi Motivator yang Kreatif

Keluarga tidak cukup bila hanya berusaha untuk menjadi ”otoritas” yang dapat dicontohi anak-anak.  Sebagai pendidik, pembina, rekan dari anak-anak, ayah dan ibu secara arif menjadi pendorong, pemberi semangat dan inspirasi bagi anak-anak. Sidney D. Craig dalam bukunya ”Raising your Child, Not by Force merely past love”,  apabila kita mempelajari secara cermat problem tentang mempengaruhi tingkah laku seorang anak, kita akan menemukan bahwa ada 5 (lima) cara pokok yang dapat diterapkan.  Kelima cara efektif tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, Orang tua dapat berbicara kepada anak. Sebagai pendidik, orang tua dapat bertindak ” sebagai guru ”, mengajar, menerangkan, memberitahukan, atau bahkan memerintah.  Kedua, Orang tua dapat menghukum secara verbal (dengan kata-kata) maupun non verbal (melalui gerak tubuh).  Ketiga, Orang tua dapat memberikan hadiah kepada anak-anak baik secara exact maupun non exact.  Keempat,  Orang tua dapat memberi contoh yang baik yang dapat ditiru, dan Kelima, orang tua dapat memotivasi anak, agar tercipta hasrat/keinginan dalam diri anak untuk  melakukan sesuatu sesuai dengan yang di harapkan oleh orang tua.  Menurut Craig, di antara kelima cara tersebut, memotivasi merupakan yang terpenting, walaupun paling sedikit di mengerti.

1.4.3. Disiplin Positip

Dalam proses pembinaan suara hati dan pembentukan iman anak, disiplin adalah hal mendasar dalam keluarga. Mendisiplinkan anak dalam keluarga dipandang penting tidak hanya dalam hal belajar, melainkan juga dalam mengikuti secara aktif kegiatan-kegiatan kerohanian, seperti berdoa bersama baik dalam keluarga maupun dalam kelompok atau lingkungan. “Kesemrawutan yang timbul di mana-mana pada zaman ini disebabkan juga oleh tiadanya usaha yang serius untuk menertibkan masyarakat (anak-anak) menurut disiplin yang telah digariskan, baik berupa peraturan-peraturan maupun norma-norma”. Demikian tegas Emil H. Tambunan dalam bukunya “Pendidikan Keluarga Sukses, Petunjuk Praktis Buat Orangtua.

Menurut Tambunan, disiplin positip sebagai jalan sukses pembentukan iman dan kharakter anak haruslah bertujuan memperkembangkan rasa hormat dan harga diri anak. Upaya mendidiplinkan anak juga hendaklah disertai cintakasih. Sesuaikanlah peraturan dengan pertumbuhan dan kemapuan anak. Orangtua juga sebaiknya memberikan alasan yang tepat mengapa anak dihukum agar anak mengetahui kesalahannya. Dan selanjutnya, komunikasi dengan anak hendaknya menjadi perhatian setiap oangtua (keluarga) dalam setiap kesibukan sepanjang hari. Moment yang tepat adalah tatkala keluarga melakukan doa bersama di malam hari setelah doa bersama mengakhiri aktivitas keluarga. Di atas segalanya, keluarga yang bijaksana senantiasa mengundang dan mengikutsertakan setiap anak dalam setiap perayaan Ekaristi sebagai sumber dan puncak kerohanian keluarga katolik.

Demikianlah upaya dan perjuangan yang baik dan benar dari segenap keluarga katolik yang menurut hemat penulis kiranya dapat menjadi sumbang saran dalam pembinaan dan pembentukan Suara hati anak melalui peraktek doa yang terlaksana secara berkesinambungan. Keluarga “is the best” dan perannya tak tergantikan oleh lembaga atau institusi manapun. Seorang anak terlahir dalam keluarga, bertumbuh dan berkembang dalam dan melalui keluarga. Dari keluarga anak berasal dan pada keluarga anak kembali. Anak yang melupakan dan lepas dari keluarga menjadi anak pengembara. Hidupnya tak menentu. Masa depannya pun suram. Sikap dan perilakunya sering menyimpang dari tata norma yang berlaku. Dia menjadi buah bibir orang ketika hidupnya tak searah tata nilai. Dia malaj dianggap ak bernilai karena kehingan nilai. Maka keluarga, orangtua diberikan tugas luhur dan tanggungjawab yang besar untuk membentuk suara hatinya, menggembleng pribadinya dan mengarahkannya pada jalan kebenaran untuk meraih sukses dan kebahagiaan. (AMAL, PAK TTU/Aida Ceha).

Membangun Rumah Tangga Ekaristi.org

Source: https://ntt.kemenag.go.id/opini/592/tugas-dan-tanggungjawab-keluarga-kristiani-oleh–anton-ml-sfilpenyuluh-agama-kantor-kemenag-ttu

You May Also Like