Membangun Mahligai Rumah Tangga Islami
“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir” (Ar-Rum: 21).
Ayat tersebut secara eksplisit mengandung tentang urusan pernikahan dan implisit terkait masa depan. Dengan kata lain, pernikahan bagi banyak orang merupakan sebuah cita-cita. Cita-cita sendiri adalah keinginan ideal semua orang di masa depan.
Namun jika sebaliknya? Apakah ada pernikahan sebagai suatu hal yang berada di masa lampau? Ada, bagi orang yang menikah beberapa kali. Artinya ada pernikahan yang lama dan baru. Kendati demikian, lazimnya banyak orang berprinsip “menikah sekali seumur hidup”.
Dalam tulisan ini saya akan membicarakan tentang pernikahan, dan bagaimana membangun mahligai keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah
(baca: samara) berdasarkan nilai Qur’ani. Keduanya menjadi pembahasan global dalam bingkai masa depan. Melalui pemahaman atas surat Ar-Rum: 21.
Uraian di atas menjelaskan bahwa pernikahan dalam bingkai masa depan merupakan cita-cita bagi kebanyakan orang. Maka pertanyaannya adalah bagaimana setiap orang itu meraihnya?
Ibda’ Min Nafsika
Setiap hal haruslah dimulai dari diri sendiri. Nabi bersabda “Mulailah kebaikan apapun dari dirimu
(ibda’ min nafsika)”. Artinya tiap individu dalam proses meraih masa depan (secara umum) dan pernikahan yang ideal (secara khusus), harus memulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Bagaimana mungkin seseorang ingin meraih masa depan dengan menggantungkannya kepada orang lain? Tentu tidak bisa.
Jika mengacu pada ayat di atas, terdapat cara agar seorang bisa sampai pada masa depan yang bahagia. Yakni membangun mahligai keluarga yang samara (saling mencintai dan menyayangi). Maka harus mulai dari memperbaiki dirinya menjadi seorang yang saleh (shaksun shalihun).
Lalu, bagaimana agar seorang bisa sampai pada predikat saleh? Pertama, seorang yang saleh tentu haruslah baik secara
dhahir
maupun
bathin. Baik hati dan pikiran maupun apa yang keluar dari keduanya berupa perkataan dan perbuatan haruslah baik (saleh). Seorang yang saleh selalu memiliki tendensi (kecenderungan) untuk melakukan kebaikan.
Al-Qur’an menyebutkan ciri-ciri orang yang saleh, yaitu “Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah berbuat yang munkar dan bersegara mengerjakan berbagai kebajikan, Mereka termasuk orang-orang yang saleh” (Ali-Imran: 114)
***
Kedua, orang yang saleh itu gemar menebar kebermanfaatan, karena telah tertanam dalam dirinya sebuah kecenderungan yang mengarah pada kebaikan (khairaat). Kebaikan itu tidak hanya bersifat private namun juga sosial. Kebaikan sosial berarti mampu bermanfaat bagi khalayak luas, mengaplikasikan teori-teori hati dan pikiran ke dalam tindakan nyata. Nabi bersabda “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama”.
Ketiga, ilmu adalah asas kebaikan dan kebermanfaatan. Orang tidak mengerti baik dan bermanfaat jika tanpa ilmu. Sebuah kata mutiara mengatakan, “Jika bukan karena ilmu niscaya manusia akan seperti binatang”. Pertanyaannya, ilmu seperti apakah yang harus menjadi pengetahuan seseorang? Semua ilmu yang mengarahkan manusia pada kebaikan dan kebermanfaatan. Khususnya ilmu tauhid sebagai dasar dari segala ilmu.
Dengan ketiga poin di atas maka seorang akan menjadi saleh. Menjadi orang yang saleh adalah langkah awal menunju masa depan yang saleh pula, pernikahan. Sebuah pernikahan dalam rangka membangun mahligai keluarga yang samara.
Asas Mahligai Pernikahan:
Mahabbah
Lantas apa saja yang diperlukan seorang untuk mencapai samara dalam pernikahan? Dalam sebuah pernikahan cinta merupakan asas utamanya. Langkah membangun pernikahan selain menjadi orang yang saleh juga memiliki cinta. Akan tetapi cinta seperti apa?
Al-Qur’an menggambarkan cinta sejati dengan kata
mahabbah. “Mail al-qalb il al-ittbaa’ wa thaa’ah” (kecenderungan hati untuk mengikuti dan mentaati). Maka orang yang ingin membangun pernikahan yang samara harus melandasinya dengan cinta yang sifatnya
mahabbah. Karena cinta yang demikian membawa pada kebersamaan dan ketaatan di atas jalan yang lurus.
Pada saat yang sama cinta yang seperti itu akan produktif. Melahirkan kebaikan, menumbuhkan rasa saling memahami dan semakin menumbuhkan cinta dalam hati itu sendiri. Bukan berarti karena landasan utamanya cinta yang bersifat
mahabbah
kemudian menolak cinta yang sifatnya fisik (superfisisal). Jatuh cinta ketika melihat wajah (kecantikan), misalnya.
Agama Islam memahami hal itu sangatlah manusiawi. Nabi bersabda: “Tunkahu mar’atu li arba’i…. (Perempuan dinikahi karena empat alasan)”. Salah satunya karena kecantikannya (li jamaliha). Namun tetap yang menjadi landasan utama adalah cinta yang sifatnya
mahabbah. Yang mengarahkan kepada jalan agama. Yang pada akhirnya juga akan mengantarkan pada keluarga yang
sakinah mawaddah wa rahmah.
Lalu sejak kapan seseorang harus membangun semua itu? Tentu sejak jauh sebelum pernikahan. Menjadi insan yang saleh, bermanfaat, berilmu dan memiliki cinta yang
mahabbah. Cinta yang darinya lahir ketentraman, ketenangan dan kasih sayang. Yang pada hilirnya, akan menciptakan keluarga yang harmonis dalam optimisme masa depan yaitu akhirat.
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Dan Sains Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan.
Guru Abdi di Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Membangun Mahligai Rumah Tangga Islami
Source: https://rahma.id/membangun-mahligai-pernikahan-yang-mawaddah-wa-rahmah/