Materi Membangun Rumah Tangga Katolik Membangun Harapan

Materi Membangun Rumah Tangga Katolik Membangun Harapan

Kegiatan Belajar 3

Tanggung Jawab Manusia

A. HORMAT TERHADAP PERKAWINAN

i. Refleksi

Bacalah artikel kecil di bawah ini:

PERKAWINAN MERUPAKAN SUATU KARIER

Perkawinan merupakan suatu
karier. Bahkan karier pokok. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan dengan penuh kesungguhan. Tragedi zaman kita ialah kita kurang sadar bahwa perkawinan merupakan suatu karier. Orang menghargai karier ahli hukum, ahli pendidikan, dokter, perawat, penyanyi, namun kita lalai menempatkan perkawinan sebagai suatu karier yang top.

Perkawinan sebagai suatu karier tidak dapat disamakan dengan semua karier lain. Sebab ia membutuhkan perpaduan aneka ragam kebajikan dan sifat khas dari bermacam-macam karier khusus. Perkawinan menuntuk kesabaran seorang guru, keahlian seorang psikolog, kegesitan diplomasi seorang negarawan, rasa adil seorang hakim, seni sense of humor seorang pelawak, semangat berkorban seorang dokter, keramah-tamahan seorang pramugari, belas kasihan seorang pengampun dan sebagainya.

Selain sebagai karier, perkawinan harus dilihat pula sebagai suatu
panggilan, suatu
tanda
dari cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan telah kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai suatu kepanggilan dan karier yang paling acme dan oleh sebab itu tidak pernah mempersiapkannya secara sungguh-sungguh.

Salah satu persiapan ialah usaha untuk lebih mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan sehingga seseorang dapat menjalankan karier top dan panggilan ini dengan sadar dan tepat.


Dari: A.B.

Sesudah Anda membaca artikel di atas, cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  1. Apakah Anda menyetujui jika dikatakan bahwa perkawinan merupakan karier paling top?
  2. Apa artinya perkawinan merupakan suatu panggilan?
  3. Apa artinya perkawinan itu merupakan suatu sakramen?
  4. Apa tujuan perkawinan itu?
  5. Manakah sifat-sifat perkawinan?

Untuk lebih menghormati lembaga perkawinan maka perlulah Anda mengenal arti, makna, tujuan, dan sifat-sifat perkawinan katolik itu.

2. Arti dan Makna Perkawinan

Arti dan makna perkawinan dapat dilihat dari beberapa segi. Kita batasi diri pada segi Undang-Undang dan ajaran resmi Gereja tentang Perkawinan itu.

a. Perkawinan Menurut Undang-Undang No. i tahun 1974

Pasal ane UU berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani.

Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.

b. Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik

Dalam Kan 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi. Di sana disinggung antara lain tentang:

  1. Perkawinan sebagai perjanjian. Gagasan perkawinan sebagai perjanjian ini bersumber pada Konsili Vatikan Ii (GS 48), yang pada gilirannya menimba aspirasi dari Kitab Suci.
  2. Perkawinan sebagai perjanjian menunjuk segi-segi simbolik dari hubungan antara Tuhan dan umatnya dalam Perjanjian Lama (Yahwe dan State of israel) dan Perjanjian Baru (Kristus dengan Gereja-Nya). Tetapi dengan perjanjian mau diungkapkan pula dimensi personal dari hubungan suami-istri, yang mulai sangat ditekankan pada abad mod ini.
  3. Perkawinan sebagai kebersamaan seluruh hidup dari pria dan wanita. Kebersamaan seluruh hidup tidak hanya dilihat secara kuantitatif (lamanya waktu), tetapi juga kuantitatif (Intensitasnya). Kebersamaan seluruh hidup harus muncul utuh, dalam segala aspeknya, apalagi kalau dikaitkan dengan cinta kasih.
  4. Perkawinan sebagai sakramen Ini merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang dibaptis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada ciptaan-Nya dan cinta Kristus kepada Gereja-Nya.

c. Perkawinan menurut Ajaran Resmi Gereja

Dalam Gaudium et Spes, no. 48 dijelaskan bahwa “perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara pria dan wanita, yang merupakan lembaga tetap yang berhadapan dengan masyarakat”. Karena itu, perkawinan bagi Gereja Katolik tidak sekadar ikatan cinta mesra dan hidup bersama yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi hukum-hukum-Nya. Perlu pula dilihat bahwa perkawinan menurut bentuknya merupakan suatu
lembaga
dalam hidup kemasyarakatan. Tanpa pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam “hidup bersama” yang dipandang oleh masyarakat sebagai liar (kumpul kebo). Perlu dilihat pula bahwa perkawinan menurut maksud dan intinya merupakan kesatuan hidup dari dua
pribadi. Tidak ada perkawinan tanpa kebebasan yang ingin membangun kesatuan hidup itu. Perkawinan terwujud dengan persetujuan antara seorang pria dan wanita yang diungkap secara bebas, untuk membagi hidup satu sama lain. Persetujuan itu mesti dinyatakan secara publik, artinya di hadapan saksi-saksi yang resmi diakui dan menurut aturan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat.

iii. Tujuan Perkawinan

Perkawinan memiliki pelbagai tujuan sosial, antara lain berikut ini.

a. Kesejahteraan Lahir-Batin Suami-Istri

Kedua partner saling membantu dan dengan demikian bukan hanya meringankan hidup melainkan membentuk satuan sosial yang paling kecil, yang kendati terbatas, namun paling kodrati dan oleh sebab itu tak pernah boleh diabdikan pada tujuan lain mana pun juga.

Ini mau menegaskan bahwa yang paling berkepentingan dalam pernikahan adalah suami-istri itu sendiri. Oleh daya dan dorongan cinta kasih yang berkembang dalam hati mereka berdua, mereka saling mempersatukan diri, saling membahagiakan dan saling mengusahakan kesejahteraan bersama. Penyerahan diri secara tulus dalam konteks persekutuan pernikahan memajukan kesejahteraan jasmani dan rohani suami-istri.

Mungkin lebih tepat harus dikatakan bahwa tujuan perkawinan ialah berusaha untuk saling menyejahterakan. Bukan kesejahteraan pribadi, sebab ada bahaya pasangan diperalat, tetapi kesejahteraan suami-istri sebagai pasangan.

Kitab Suci berkata: “Tidaklah baik, bahwa manusia sendiri saja. Kami hendak mengadakan seorang pendamping untuk menjadi teman hidupnya…..

Lalu Allah mengambil sebuah tulang rusuk Adam dan membentuknya menjadi seorang wanita. Maka pria akan meninggalkan ibu-bapaknya untuk mengikat diri pada istrinya dan mereka akan menjadi satu jiwa-raganya” (Kej 2:18-25).

Kitab Suci kiranya mau mengatakan kepada kita bahwa tujuan perkawinan ialah
saling menjadikan baik dan sempurna, saling menyejahterakan, yaitu dengan mengamalkan cinta seluruh jiwa raga. Perkawinan adalah panggilan hidup bagi sebagian besar umat manusia untuk mengatasi batas-batas egoisme, untuk mengalihkan perhatian dari diri sendiri kepada sesama, untuk menerima tanggung jawab sosial dan menomorduakan kepentingan sendiri demi kepentingan kekasih dan anak-anak mereka bersama-sama. Seorang yang sungguh egois sebenarnya tidak sanggup menikah.

b. Kesejahteraan Lahir Batin Anak-anak

Gereja selama berabad-abad mengajar, bahwa tujuan pokok perkawinan adalah melahirkan anak. Baru pada abad kita ini, menjelang Konsili Vatikan Ii, orang mulai bertanya-tanya lagi mengenai hakikat perkawinan.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, misalnya kalau tujuan utama perkawinan adalah anak, apakah ayah ibu hidup semata-mata untuk anak?? Bagaimana kalau tujuan perkawinan itu, yaitu mendapatkan keturunan, tak dapat dipenuhi, misalnya karena pasangan itu mandul? Kita tahu bahwa Gereja Katolik berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun mereka tetaplah suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi Tuhan!! Dalam dokumen-dokumennya sesudah Konsili Vatikan Two Gereja tidak lagi terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan utama.

Read:  Contoh Bangunan Rumah Sakit Hijau

Anak-anak, menurut pandangan Gereja, adalah “anugerah nikah yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orang tua.

Anak-anak adalah Anugerah Tuhan dalam Perkawinan

Dalam tanggung jawab menyejahterakan anak, terkandung pula kewajiban untuk mendidik anak-anak. “Karena telah memberikan kehidupan kepada anak-anak mereka, orang tua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik anak-anak mereka, dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka (GE. 3a). Pendidikan anak, menurut pendapat Gereja, harus mengarah pada pendidikan demi masa depan anak-anak. “Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti dengan penuh rasa tanggung jawab panggilan mereka termasuk juga panggilan khusus, dan memilih condition hidup; apabila mereka memilih condition pernikahan, semoga mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan mereka””(GS. 52a).

Jadi pemenuhan tujuan pernikahan tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus dilahirkan kembali dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual, moral, keagamaan, hidup sakramental.

c. Kepenuhan Hidup Seksual

Dalam kebanyakan lingkungan kebudayaan, lembaga perkawinan dipandang sebagai tempat yang sah untuk hubungan kelamin. Dalam perkawinan yang sah laku seks menjadi wajar. Dalam perkawinan manusia sebagai makhluk seksual mendapat kepenuhannya. Oleh interaksi dan komunikasi seksual manusia semakin menjadi pria dan wanita, ayah dan ibu.

4.  Moral Kesetiaan dalam Perkawinan

Perkawinan kristiani yang telah menjadi sakramen mempunyai satu sifat dasar yang tak dapat diganggu gugat, yaitu setia. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan itu mewujudkan dirinya dalam dua sifat perkawinan yang lainnya, yaitu monogam dan tak dapat diceraikan.

Kesetiaan berarti bahwa suami-istri hidup bagi partnernya, menyerahkan diri secara total hanya kepada partnernya, selalu dan dalam segala situasi.

Kesetiaan adalah hal yang sangat utama dalam kehidupan perkawinan kristiani. Ketidaksetiaan sejak awal digolongkan oleh Gereja di antara dosa-dosa yang paling berat, sama seperti pembunuhan dan penyembahan berhala. Sebab, ketidaksetiaan bukan hanya dosa besar terhadap teman hidup, tetapi dosa besar terhadap panggilan luhur menjadi sakramen kepada teman hidup, dan bersama-sama kepada seluruh umat.

Panggilan untuk memberi kesaksian tentang kesetiaan Kristus dan Gereja itu tidak boleh mereka putarbalikkan. Mereka harus saling setia lahir-batin.

a. Monogam

Salah satu perwujudan dan kesetiaan Kristen dalam perkawinan ialah bahwa perkawinan pasangan Kristen bersifat monogam. Dalam perkawinan Kristen ditolak poligami dan poliandri. Dalam perkawinan Kristen suami mesti menyerahkan diri seutuh-utuhnya kepada istrinya; dan sebaliknya istri pun harus menyerahkan dirinya secara utuh kepada suaminya. Tidak boleh terbagi kepada pribadi-pribadi lain lagi. Hanya satu untuk satu sampai kematian memisahkan mereka. Yesus tegaskan “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan dua lagi, melainkan satu” (Mt 19:15). Inilah persatuan dan cinta yang sungguh menyeluruh, tak terbagi dan total sifatnya.

Dalam perkawinan Kristen yang diserahkan bukan suatu hak, bukan pula badan saja, juga bukan hanya tenaga dan waktu, melainkan
seluruh diri kita, termasuk hati dan seluruh masa depan kita.

b. Tak Terceraikan

Perkawinan Kristen bukan saja monogam, tetapi juga
tak dapat diceraikan. Perkawinan Kristen bersifat tetap, hanya maut yang dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat menikahi seseorang untuk jangka waktu tertentu, kemudian bercerai untuk menikah lagi dengan orang lain.


Perkawinan Kristen menuntut cinta yang personil, total, tetapi juga permanen. Suatu cinta tanpa syarat. Suatu nikah dengan jangka waktu dan syarat-syarat tidak mencermin-kan cinta yang personil, full dan permanen itu. (Baca: Mrk ten:212; Lk 16:18).

Dapatkah kita saling menyerahkan diri dengan syarat, dengan perasaan cemas kalau-kalau

batas waktunya sudah dekat?

Nah, untuk memberikan landasan yang kuat, dalam janji pernikahan setiap calon mempelai di hadapan Tuhan mengikrarkan kesetiaan mereka kepada satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa memasang syarat apa pun. Oleh karena Kristus dengan setia menyertai dan menolong suami dan istri maka meraka                                                          Nah, untuk memberikan landasan yang kuat, dalam janji pernikahan setiap calon mempelai di hadapan Tuhan mengikrarkan kesetiaan mereka kepada satu sama lain sampai maut memisahkan mereka. Suami dan istri dipilih Tuhan untuk menjadi suatu sakramen satu bagi yang lain. Jadi, mereka diangkat menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu menguduskan, menguatkan dan menghibur tanpa memasang syarat apa pun. Oleh karena Kristus dengan setia menyertai dan menolong suami dan istri maka meraka pun sanggup untuk setia satu terhadap yang lain. Sifat sakramentil perkawinan Kristen itulah yang membuatnya kokoh dan tak terceraikan.

B. MENGHORMATI HIDUP KELUARGA

1. Refleksi

Bacalah kisah singkat di bawah ini dengan teliti!

ISTRI BUNUH SUAMI YANG TIDUR LELAP

Bali Tomo Prawiro (55 tahun) penduduk kelurahan Wanea, Lingkungan 5 Manado, tewas seketika di tangan istrinya sendiri Jumat dini hari 19 Juli lalu sekitar pukul 02.xxx.

Korban yang lagi lelap di kamar tidurnya hanya bisa mengerang dan menggelepar ketika menerima half-dozen kali pukulan pentung besi dari tangan Ar (45), istrinya.

Menurut sumber Kompas di Polresta Manado sesuai dengan pengakuan Ar, korban tidak sempat melawan. Pukulan pertama pipa leding yang menimpa bagian kepala, langsung membuat ayah beranak tiga ini tidak berdaya di tempat tidur. Korban hanya mampu mengerang dan menggelepar.

Erangan dan geleparan korban sebaliknya membuat pelaku semakin bernafsu. Lima pukulan terakhir menjadikan Bali Tomo yang dikenal sebagai perajin dan pedagang mainan anak-anak dari bahan kayu terhenti geleparannya.

Anak kedua dan ketiga yang tidur di kamar sebelah, sesaat terbangun karena mendengar suara ribut-ribut di kamar ayah mereka, lalu menanyai ibunya: “Mam, ada apa di kamar papa. Mengapa ribut-ribut?” Dijawab ibunya: “Diam saja. Papa tidak apa-apa.” Kutip sumber Kompas.

Menurut pengakuan, Ar berbuat nekat karena tidak tahan menghadapi perlakuan suaminya hampir 25 tahun berumah tangga. Kehidupan kami bersama tiga anak boleh dikatakan cukup bahagia, tetapi sejak kepergian kami sekeluarga ke Banjarmasin kampung halaman suami saya, ia mulai sering marah. Kadang-kadang memukul dan mengancam. Anak kami yang paling tua sering dipukuli dan karena perlakuannya semakin kasar, timbul kenekatan saya, kata Ar.

Read:  Contoh Rumah Dua Lantai Belum Di Bangun Yang Atas Nya


(Dari: Kompas, 24 Juli 1985)

Sesudah membaca cerita di atas, cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini!

  1. Mengapa Ar nekat membunuh suaminya? Apakah alasan itu cukup kuat untuk membunuh suami?
  2. Menurut pendapatmu apa saja yang harus dibuat oleh suami dan istri supaya hidup keluarga mereka sejahtera lahir-batin?
  3. Apa saja tantangannya dalam hidup berkeluarga?

Selanjutnya, bacalah ulasan berikut ini, mungkin membantu untuk membangun kehidupan keluarga yang sejahtera.

ii. Arti dan Makna Keluarga

“Keluarga dalam arti sempit (keluarga inti) mencakup suami-istri dengan anak-anaknya. Dalam arti luas, keluarga juga mencakup seluruh sanak-saudara (famili). Keluarga merupakan kesatuan sosial berdasarkan hubungan biologis, ekonomis, emosional dan rohani yang bertujuan mendidik dan mendewasakan anak-anak sebagai anggota aneka masyarakat luas dan terbatas. Dasarnya adalah ikatan perkawinan ayah – ibu” (Ensiklopedi Gereja, CLC, Jkt,’92).

Setiap orang tentu berasal dari sebuah keluarga, sebab dari keluarga itulah ia ada. Memang, sumber hidup kita ialah Tuhan, tetapi Ia mengalirkannya lewat keluarga. Ayub sebagai bapak keluarga berkata, “Hidup dan kasih setia Kau karuniakan kepadaku” (Ayb 10:12). Sebagai anak atau sebagai ayah dan ibu, kita mengambil bagian dalam proses hidup ini. Menghormati keluarga, berarti menghormati hidup kita sendiri sekaligus menghormati Sang Pemberi hidup.

3. Tugas dan Tanggung Jawab dalam Keluarga

Dengan memasuki kehidupan perkawinan dan keluarga sebenarnya mulai menerima suatu tugas dan karier pokok menuntut banyak kebajikan, keterampilan dan pandangan yang luas. Untuk hidup dengan mantap dalam perkawinan dan keluarga orang membutuhkan kesabaran seorang guru, rasa adil seorang hakim, keahlian seorang psikolog, kegesitan diplomasi seorang negarawan, semangat berkorban seorang dokter, seni humor seorang pelawak, keramahtamahan seorang pramugari, belas kasihan seorang pengampun.

Memang perkawinan dan hidup keluarga merupakan suatu tugas dan karier yang utama. Segala tugas dan karier yang lain bersifat tambahan dan sekunder jika dibandingkan dengannya.

Kewajiban dan tanggung jawab keluarga bisa terarah ke dalam dirinya sendiri, tetapi juga terarah keluar, ke masyarakat. Jadi perkawinan dan hidup keluarga berdimensi misioner pula.

Dalam pembahasan in hanya akan disinggung tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh anggota keluarga dalam keluarga.

a. Tugas dan Tanggung Jawab Seorang Suami/Bapak

Menyangkut tugas/kewajiban suami terhadap istri dan keluarga, secara berturut kita akan berbicara tentang:

  1. Suami sebagai kepala keluarga
  2. Suami sebagai partner istri
  3. Suami sebagai kekasih istrinya
  4. Suami sebagai pendidik

Mari kita bahas seperlunya satu per satu:

  1. Suami sebagai Kepala Keluarga
    Sebagai kepala keluarga suami harus bisa memberi nafkah lahir- batin kepada istri dan keluarganya. Mencari nafkah adalah salah satu tugas pokok seorang suami, sedapatnya tidak terlalu dibebankan kepada istri dan anak-anak. Untuk menjamin nafkah ini sang suami hendaknya berusaha memiliki pekerjaan.
  2. Suami sebagai Partner Istri
    Perkawinan modern menuntut pola hidup partnership. Suami hendaknya menjadi partner dari istrinya. Pada masa sekarang ini banyak wanita yang menjadi wanita karier. Kalau istri adalah wanita karier maka perlulah kita menjadi pendamping, penyokong dan pemberi semangat baginya. Dalam kehidupan rumah tangga istri pasti mempunyai banyak tugas dan pekerjaan. Janganlah membiarkan dia sendiri hanya karena kita sudah mempunyai pembagian tugas yang jelas dalam rumah tangga. Banyak istri yang merasa tertekan, merasa tidak diperhatikan lagi karena apa saja yang dibuatnya tak pernah masuk dalam wilayah perhatian suaminya.
  3. Suami sebagai Kekasih dari Istri
    Orang sering berpikir bahwa hidup sebagai kekasih itu pas untuk masa pacaran dan masa-masa awal kehidupan perkawinan. Sewaktu masa pacaran atau tahun-tahun pertama masa perkawinan, hubungan kita sebagai pasangan ada pada tingkat penghayatan yang saling mementingkan pribadi pasangan. Kita lebih mementingkan orangnya, pribadi pasangan secara utuh. Hal-hal di luar pribadinya atau bagian tertentu dari pribadinya yang tidak kita sukai, itu dinomorduakan.
    Namun bisa terjadi, setelah bertahun-tahun hidup bersama dengan kesibukan masing-masing, pasangan suami istri umumnya secara lambat laun dan tak disadari sudah berada dalam kondisi menomorduakan pasangan dan menomorsatukan atau mementingkan hal-hal lain di luar dari pasangan. Padahal sang istri misalnya tetap membutuhkan perhatian dan kebersamaan, termasuk kebersamaan yang lebih intim.
  4. Suami sebagai Pendidik
    Orang sering berpikir dan melemparkan tugas mendidik anak-anak pada istri/ibu, padahal anak-anak tetap memerlukan sosok ayah dalam pertumbuhan diri dan pribadi mereka. Sosok ayah tak tergantikan.

b. Tugas dan Tanggung Jawab Seorang Istri/Ibu

Menyangkut tugas dan kewajiban istri dalam kehidupan perkawinan akan kita singgung, antara lain istri sebagai hati dalam keluarga, partner dari suami, sebagai kekasih dari suami, sebagai pendidik. Kita dalami sekilas satu per satu:

  1. Istri sebagai hati dalam keluarga
    Kalau suami adalah kepala keluarga maka istri adalah hati dalam keluarga. Sebagai hati, sang istri harus bisa menciptakan suasana kasih sayang, ketentraman, keindahan dan keharmonisan dalam keluarga.
  2. Istri sebagai partner dari suami
    Sebagai partner, istri dapat membantu suami dalam tugas dan kariernya. Bantuan yang dimaksudkan di sini lebih dalam arti memberi sumbang saran, tetapi juga dukungan moril. Yang pertama itu lebih bersifat rasional, yang kedua itu lebih bersifat afekstif. Sering kali dukungan moril yang bersifat afektif itu akan lebih berarti bagi suami.
  3. Istri sebagai kekasih suami
    Pertama-tama harus dikatakan bahwa setiap suami pasti menginginkan istrinya tetap tampil sebagai kekasih yang cantik, yang dapat dibanggakan. Intuisi untuk memiliki yang cantik adalah sikap tiap lelaki. Selain tetap mempertahankan penampilan lahiriahnya sang istri hendaknya tetap bersikap sebagai kekasih kepada suaminya. Hal ini dapat diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan biasa dan sederhana, mulai dari menolong memasang dasinya sampai kepada melayaninya di tempat tidur.
  4. Istri sebagai pendidik
    Istri/Ibu merupakan pendidik yang pertama dan utama dari anak- anaknya. Surga di bawah telapak kaki ibu.

c.  Kewajiban Anak-anak terhadap Orang Tua

Kewajiban-kewajiban anak terhadap orang tuanya tidak statis dan tidak selalu sama, melainkan dipengaruhi baik oleh perkembangan maupun oleh situasi dan kondisi. Anak menjadi semakin mandiri. Sedangkan orang tua dalam proses menua semakin membutuhkan orang lain, khususnya anak-anaknya.

Beberapa hal dasar yang perlu diperhatikan dan dikembangkan dalam kewajiban anak terhadap orang tua adalah mengasihi orang tua, bersikap dan berperilaku penuh syukur, serta bersikap dan berperilaku hormat kepada orang tua.

d. Membina Hubungan Kakak-Adik

Dalam keluarga masih ada saudara-saudara (kakak-adik) yang mempunyai hubungan timbal balik sebagai anggota-anggota satu keluarga. Hubungan ini memang bervariasi sesuai dengan faktor sosiokultural.

Dalam mengembangkan keluarga sebagai persekutuan pribadi-pribadi, hubungan kakak-adik sebagai anggota-anggota keluarga inti sangat penting. Hal-hal yang perlu dikembangkan dalam hubungan kakak-adik adalah kasih persaudaraan, saling membantu dan saling menghargai. Pengalaman hidup bersama dan proses-proses awal dari sosialisasi untuk hidup bersama berlangsung dalam keluarga di mana terdapat lebih dari satu anak (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219).

apabila keluarga disebut sekolah kemanusiaan, yang dimaksudkannya ialah bahwa kakak-adik mengalami proses sosialisasi dalam keluarga. Mereka tak hanya dididik oleh orang tua, melainkan juga secara tidak langsung saling mendidik. Dengan bertengkar dan berdamai kembali mereka belajar dan berlatih mengolah konflik yang termasuk unsur hidup bersama (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2219).

Read:  Rumah Dibangun Di Atas Lahan 7000

4.  Cinta Kasih dan Komunikasi dalam Keluarga

a.  Pentingnya Cinta dalam Hidup Manusia

Kita bisa hidup dan berkembang sebagai manusia karena perhatian dan cinta yang kita terima dan alami dari orang lain, dan karena cinta yang kita berikan kepada orang lain. Seluruh ajaran dan perbuatan Kristen justru berdasarkan pada cinta. “Hendaklah kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu”. (Yoh fifteen:12).

Cinta membahagiakan orang dan memungkinkan manusia berkembang secara sehat dan seimbang. Cinta yang jujur dan persahabatan sejati antarmanusia memungkinkan perwujudan diri yang sehat dan seimbang, menghindarkan gangguan psikis, dapat menyembuhkan orang yang menderita sakit jiwa.

Jadi, apabila manusia belajar memberikan cinta dan menerima cinta, ia dapat sembuh dari perasaan kesepian dan banyak gangguan emosional. Selain itu cinta adalah kekuatan aktif dalam diri manusia, kekuatan yang mempersatukan manusia dengan sesamanya, namun membiarkan manusia tetap menjadi dirinya sendiri, membiarkan manusia mempertahankan keutuhan sendiri.

b. Membina Cinta dalam Keluarga

Haruslah dilihat bahwa tujuan perkawinan pertama-tama ialah membina cinta kasih antara suami-istri, menjalin hubungan perasaan yang mesra antara kedua partner yang ingin hidup bersama untuk selama-lamanya.

  1. Cinta kasih yang menghargai teman hidup sebagai partner
    Kebahagiaan di dalam hidup keluarga tidak terjadi begitu saja secara otomatis setelah mempelai menerima berkat di Gereja dan diresmikan perkawinannya, tetapi kebahagiaan itu masih harus dibentuk dan dibangun, diwujudkan terus-menerus lewat perbuatan nyata sehari-hari.
    Maka dari sebab itu agar cinta dalam hidup berkeluarga semakin hari semakin bertumbuh dan berkembang, perlu suasana “partnership” antara suami-istri. Partnership berarti
    persekutuan atau persatuan yang berdasarkan prinsip kesamaan derajat
    sehingga kedua-duanya menjadi “partner” yang serasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama.
    Perkawinan yang berpola partnership pada dasarnya bukan soal nafsu, uang, kenikmatan atau mendapat keturunan, melainkan lebih merupakan suatu usaha bersama suami istri untuk saling memperkaya, melengkapi dan membahagiakan baik sekarang maupun di masa akan datang.
    Partnership atau persatuan antara pria dan wanita sebagai suami-istri memang dari sendirinya cenderung terarah kepada pribadi yang tetap untuk memperoleh keturunan, namun tidak semata-mata demi keturunan, melainkan keturunan hanya menyempurnakan partnership antara suami istri.

    Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut.

    Five.2.4 hal-hal penting yang harus kita perhatikan dalam berkomunikasi dalam keluarga.

    Source: https://www.youtube.com/spotter?v=DtfLaaySx5Q

  2. Cinta kasih yang menyerahkan dirinya sendiri
    Cinta kasih dalam hidup perkawinan sangat menuntut suatu sikap
    penyerahan diri yang full, bukan hanya setengah-setengah saja. Kedua partner harus saling menyerahkan diri kepada yang lain tanpa reserve atau tanpa perhitungan untung rugi bagi dirinya (tanpa pamrih) dalam bersama-sama membangun persatuan hidup, membangun kebahagiaan keluarga dengan sumbangan yang berbeda, sesuai dengan kodrat/peranannya masing-masing sebagai suami-istri.
    Namun, arti perkawinan sebagai persekutuan hidup dalam cinta kasih seumur hidup bisa mengarah ke dua kemungkinan: menjadi semakin berkembang atau semakin merosot. Justru di sinilah menjadi nyata bahwa cinta yang sudah dimulai dan diabadikan, harus senantiasa diperjuangkan, dipertahankan dan dibina terus-menerus dalam sikap saling membantu, saling melayani, saling mengerti dan memaafkan kekurangan masing-masing, saling memperhatikan kebutuhan partner.

c. Komunikasi dalam Keluarga

Berkomunikasi berarti menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada pihak lain. Berkomunikasi tentang hal-hal yang sama-sama diketahui dan dirasakan akan terasa jauh lebih mudah dari pada mengenai bidang yang khas dunia sendiri. Namun, untuk mencapai keserasian hubungan antarmanusia, untuk mencapai saling pengertian, justru yang paling perlu dikomunikasikan adalah dunia sendiri itu. Dunia suami, dunia istri, dunia anak-anak yang sering sangat berbeda. Maka dalam berkomunikasi ada banyak hal yang harus diperhatikan, antara lain berikut ini.

Jangan Menganggap Remeh Anak-anak!

  1. Mendengarkan
    Semua orang yang tidak tuli bisa mendengarkan. Akan tetapi, yang bisa mendengar belum tentu pandai pula
    mendengarkan. Telinga bisa mendengar segala suara, tetapi mendengarkan suatu komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati serta segenap indra diarahkan kepada si pembicara.
    Banyak di antara kita yang merasa bahwa mendengarkan itu tak enak, sebab memaksa kita untuk menunda apa yang kita sendiri mau katakan. Betapa seringnya kita tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara karena kita sibuk sendiri memikirkan apa yang mau kita katakan. Mendengarkan dengan baik harus kita pelajari kalau betul-betul ingin membangun keluarga yang harmonis.
  2. Keterbukaan
    Penilaian seseorang tidak mutlak benar. Oleh karena itu, sukar terjadi komunikasi yang mengena dengan orang yang tegar dalam penilaiannya, seakan-akan itu sudah fakta mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Orang bisa begitu menutup diri terhadap masukan dari pihak lain yang bertentangan dengan penilaian sendiri. Setiap orang boleh, bahkan sepatutnya mempunyai sistem nilai, mempunyai keyakinan, mempunyai sikap, mempunyai pandangan, mempunyai kepercayaan dan pendidikan. Akan tetapi, ia tidak mempunyai kemauan berkomunikasi kalau ia tertutup untuk mendengarkan, mencernakan masukan dari pihak lain.
    Orang yang mau senantiasa tumbuh sesuai dengan zaman, adalah orang yang terbuka untuk menerima masukan dari orang lain, merenungkannya dengan serius, dan mengubah diri apabila perubahan dianggapnya sebagai pertumbuhan ke arah kemajuan. Ada pun masukan dari pihak lain hanya terjadi melalui komunikasi dengan orang lain. Anda sudah sering mengalami, betapa enaknya berbicara dengan orang yang mempunyai sikap terbuka. Terbuka untuk menyatakan dan terbuka untuk mendengarkan. Terbuka untuk menyatakan diri dengan jujur, terbuka pula untuk menerima orang lain sebagaimana adanya.
    Keterbukaan tidak hanya menyangkut keyakinan dan pendirian mengenai suatu gagasan. Keterbukaan dalam berkomunikasi untuk menuju pertumbuhan melibatkan juga perasaan, seperti kecemasan, harapan, kebanggaan, kekecewaan. Dengan lain kata, diri kita seutuhnya. Anggota keluarga yang saling terbuka, akan membangun keluarga yang sejahtera lahir-batin.

PENDALAMAN/PERESAPAN

Gaudiun et Spes No. 52 mengatakan: Keluarga adalah semacam Sekolah Kemanusiaan yang kaya. Akan tetapi supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Kehadiran ayah yang aktif sangat menguntungkan pembinaan anak-anak, akan tetapi juga perawatan ibu di rumah, yang dibutuhkan anak-anak dan seterusnya…..

Pedoman Pastoral Keluarga (MAWI 1975) antara lain mengatakan: Kita makin menginsyafi bahwa perkawinan itu persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami istri berusaha makin saling menyempurnakan dan bantu membantu. Hanya dalam suasana hormat-menghormati dan saling menerima inilah, dalam keadaan mana pun juga, persekutuan cinta itu dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan. (Lihat Pedoman Kerja Umat katolik No. nine).

Materi Membangun Rumah Tangga Katolik Membangun Harapan

Source: http://bahanajar.ut.ac.id/app/webroot/epub/original_files/extract/1178/EPUB/xhtml/raw/sxbouq.xhtml

You May Also Like