Dampak Pembangunan Agribisnis Pada Ekonomi Rumah Tangga Dan Wilayah

Dampak Pembangunan Agribisnis Pada Ekonomi Rumah Tangga Dan Wilayah


ABSTRAK


Sumberdaya air dapat terkena dampak dari pembangunan itu sendiri.






Perubahan kondisi lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan dapat berdampak pada






sumberdaya air baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Peristiwa banjir yang sering terjadi






tidak terlepas dari dampak perubahan penggunaan lahan. Pencemaran pada air sungai dan air






tanah yang sering terjadi juga merupakan dampak dari pembangunan juga. Dengan






memperhatikan daur hidrologi serta proses hidrologi yang mengalami perubahan dapat dikaji






dampak-dampak negatif yang mungkin timbul yang disebabkan oleh proses pembangunan.

Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia, maka prinsip dasar yang berkaitan dengan sumber daya air yang perlu dipahami adalah bagaimana memenuhi kebutuhan air secara memadai dengan ketersediaan air yang terbatas untuk seluruh penduduk Republic of indonesia dan seluruh sektor pembangunan, dengan mempertimbangkan aspek daya dukung dan konservasi sumber daya air.


Kata Kunci :        Dampak pembangunan, siklus hidrologi, ketersediaan air, konservasi sumberdaya air


I.  PENDAHULUAN

Air merupakan sumber daya penting bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan, telah meningkatkan kebutuhan air. Di lain pihak, ketersediaan air dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat bahkan sudah dapat dikategorikan berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti pencemaran, penggundulan hutan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan berubahnya fungsi daerah tangkapan air.


Air sebagai penopang pembangunan dewasa ini






(bahkan sudah dirasakan sejak lama) semakin terancam keberadaannya, baik dan segi kuantitas






maupun kualitasnya. Hal tersebut sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia yang kurang arif






terhadap lingkungan sehingga berpengaruh terhadap sumberdaya air, bahkan akhirnya






berdampak negatif terhadap manusia sendiri.


Sumberdaya air sebagai bagian dari sumberdaya alam  (natural resources),  di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 disebutkan diarahkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta
penataan ruang
yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.


UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya air harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian yang terkandung di dalam amanat tersebut adalah bahwa negara bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pendistribusian potensi sumberdaya air bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan dengan demikian pemanfaatan potensi sumberdaya air harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsip-prinsip kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan.



Hidrologi dan Sumberdaya Air







Dalam membicarakan ruang lingkup sumberdaya air yang pada dasarnya membahas hidrologi,






akan lebih mudah bila penjelasannya dikaitkan dengan sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang






digunakan sebagai wilayah maupun satuan analisisnya. Dalam sistem DAS biasanya






digambarkan hubungan antara hujan sebagai masukan dan aliran sebagai keluarannya dalam



suatu sistem sebagai berikut. Keluaran yang dihasilkan dalam sistem tersebut tidak terbatas pada






aliran, tetapi dapat juga merupakan zat kimia yang terbawa aliran dan atau sedimen yang terbawa






aliran yang bersangkutan.






Hubungan tersebut umumnya berlangsung dalam penelitian sumberdaya air pada suatu DAS,






atau yang dikenal dengan pendekatan kotak hitam (black box). Air di muka bumi mengalami






peredaran (siklus) yang sering disebut dengan siklus hidrologi atau daur hidrologi. Siklus






hidrologi dapat dicerminkan dalam bentuk yang sederhana maupun yang rumit, lengkap dengan






proses-proses berlangsung di dalamnya.






Dalam penanganan suatu kegiatan yang melibatkan hidrologi, hendaknya disesuaikan dengan






tujuan dari kegiatan tersebut. Oleh sebab itu parameter hidrologi yang diperlukan dalam suatu






kegiatan harus disesuaikan. Dalam kajian siklus hidrologi dapat dibedakan antara cara






perhitungan dan ruangan atau batas wilayah yang dipelajari dalam memperkirakan neraca air.






Potensi Sumber Daya Air

Secara nasional, potensi sumber daya air (air permukaan dan air tanah) tersebar di berbagai pulau di Indonesia dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Demikian pula pemanfaatannya sangat tergantung pada kebutuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang ada, seperti pertanian (irigasi), industri, pariwisata, dan sebagainya.

Berdasarkan studi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 1994, potensi air permukaan di Indonesia adalah sebesar ane.789 milyar m3/tahun. Potensi air tersebut tersebar di berbagai pulau, antara lain Papua sebesar 1401 x 109 m3/tahun; Kalimantan sebesar 557 x 109 m3/tahun; dan Jawa sebesar 118 x 109 m3/tahun. Air permukaan tersebut tersebar pada berbagai badan air, yaitu 5.886 sungai, 186 danau/situ, waduk dan rawa seluas 33 juta hektar.

Hal lain juga dikemukakan oleh Rohmat (2010) bahwa debit air sungai Citarum dan sekitarnya yang masuk ke waduk Djuanda dipandang sebagai jumlah yang terkendali. Total potensi sumberdaya air selama satu tahun dihitung berdasarkan jumlah air bulanan. Pendekatan perhitungan jumlah air tersebut disajikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut ( Rohmat, 2010) :

Qb = Qh x H x 86400 dan Qt = ∑Qbi

Dengan :          Qb = Jumlah air rata-rata dalam m³/bulan

                        Qh = Debit rata-rata harian (m³/detik)

                        H   = Jumlah hari dalam bulan yang bersangkutan

                        Qt = Rata-rata jumlah air total selama 1 tahun (m³/tahun)

Sumber : PJT Two, Jawa Barat.


Kebutuhan Air

Kebutuhan air terbesar di Indonesia terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera, karena kedua pulau ini mempunyai jumlah penduduk dan industri yang cukup besar. Kebutuhan air lainnya yang besar adalah untuk keperluan pertanian (irigasi) dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 1991, pada tahun 1990 kebutuhan air untuk pertanian (irigasi dan tambak) adalah 74,9 x 109 m3/tahun, sedangkan pada tahun 2000 kebutuhan air untuk keperluan tersebut akan meningkat menjadi sebesar 91,5 x 109 m3/tahun, dan pada tahun 2015 menjadi sekitar 116,96 10 109 m3/tahun. Berarti persentase kenaikan kebutuhan air untuk pertanian antara tahun 1990 dan 2000 adalah sebesar 10%/tahun dan antara tahun 2000 dan 2015 sebesar half dozen,7 %/tahun.

Di samping kebutuhan air untuk domestik dan pertanian, kebutuhan air untuk sektor industri juga cukup besar. Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, kebutuhan air untuk sektor industri pada tahun 1990 adalah sebesar 703,5 x 106 m3/tahun, dan proyeksi untuk tahun 1998 adalah sebesar half dozen.474,eight x 106 m3/tahun. Peningkatan sebesar sembilan kali lipat atau 12,5%/tahun merupakan perkiraan berkembangnya industri di beberapa provinsi, antara lain di Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Borneo Timur.

Karena ketersediaan air permukaan yang dapat dimanfaatkan semakin terbatas maka terjadi peningkatan penggunaan air tanah terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Djakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Sebagai contoh, pemanfaatan air tanah untuk sektor industri saja di Kota Bandung mencapai 66,9 x 106 m3/tahun. Di wilayah DKI Jakarta dan daerah penyangganya yaitu Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek) diketahui cekungan air tanahnya meliputi luas 3.000 km2.

Read:  Komunikasi Pemasaran Membangun Brand Awareness Pada Rumah Saya Jogja Cafe


Ketersediaan air (H2o availability)





Ketersediaan air adalah berapa besar cadangan air yang tersedia untuk keperluan irigasi. Ketersediaan air ini biasanya terdapat pada air permukaan seperti sungai, danau, dan rawa-rawa, serta sumber air di bawah permukaan tanah. Pada prinsipnya perhitungan ketersediaan air ini bersumber dari banyaknya curah hujan, atau dengan perkataan lain hujan yang jatuh pada daerah tangkapan hujan
(catchment area/ watershed)
sebagian akan hilang menjadi evapotranspirasi, sebagian lagi menjadi limpasan langsung
(direct run off), sebagian yang lain akan masuk sebagai infiltrasi. Infiltrasi ini akan menjenuhkan tanah atas
(top soil), kemudian menjadi perkolasi ke ground water yang akan keluar menjadi
base flow

. (Anonim, 2009).


Di samping data meteorologi, dibutuhkan pula data cahaya permukaan
(exposed surface), dan information kelembaban tanah
(soil wet).




Untuk rumus run off adalah

:


Run off = base menses + direct run off






Karakteristik Sumberdaya Air

Secara eksplisit karakteristik dasar sumberdaya air antara lain:

a.


Dapat mencakup beberapa wilayah administratif (cross-authoritative boundary) dikarenakan oleh faktor topografi dan geologi

b.


Dipergunakan oleh berbagai aktor (multi-stakeholders)

c.


Bersifat sumberdaya mengalir (flowing/dynamic resources) sehingga mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara kondisi kuantitas dengan kualitas, antara hulu dengan hilir, antara
instream
dengan
offstream, maupun antara air permukaan dengan air bawah tanah.

d.


Dipergunakan baik oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang (antar generasi).

Kuantitas dan kualitas air amat bergantung pada tingkat pengelolaan sumber daya air masing-masing daerah, keragaman penggunaan air yang bervariasi – pertanian, air baku domestik dan industri, pembangkit tenaga listrik, perikanan, dan pemeliharaan lingkungan – selain iklim, musim (waktu) serta sifat ragawi alam (topografi dan geologi) dan kondisi demografi (jumlah dan penyebaran) serta apresiasi (persepsi) tentang air.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka sumberdaya air merupakan sumberdaya alam yang sangat vital bagi hidup dan kehidupan mahluk serta sangat strategis bagi pembangunan perekonomian, menjaga kesatuan dan ketahanan nasional sehingga harus dikelola secara terpadu, bijaksana dan profesional.


Masalah Pengelolaan Sumberdaya Air

Secara umum  masalah pengelolaan sumberdaya air dapat dilihat dari kelemahan mempertahankan sasaran manfaat pengelolaan sumberdaya air dalam hal
pengendalian banjir
dan
penyediaan air baku
bagi kegiatan domestik, municipal,  dan industri.

Masalah pengendalian banjir sebagai bagian dari upaya pengelolaan pengelolaan sumberdaya air, sering mendapatkan hambatan karena adanya pemukiman padat di sepanjang sungai yang cenderung mengakibatkan terhambatnya aliran sungai karena banyaknya sampah domestik yang dibuang ke badan sungai sehingga mengakibatkan berkurangnya daya tampung sungai untuk mengalirkan air yang datang akibat curah hujan yang tinggi di daerah hulu.

Pada sisi lain penyediaan air baku yang dibutuhkan bagi kegiatan rumah tangga, perkotaan dan industri sering mendapatkan gangguan secara kuantitas – dalam arti terjadinya penurunan debit air baku akibat terjadinya pembukaan lahan-lahan baru bagi pemukiman baru di daerah hulu yang berakibat pada pengurangan luas
catchment area
sebagai sumber penyedia air baku. Disamping itu, secara kualitas penyediaan air baku sering tidak memenuhi standar karena adanya pencemaran air sungai oleh limbah rumah tangga, perkotaan, dan industri.

Dengan diberlakukannya Undang-undang 22/1999 tentang Otonomi Daerah, masalah pengelolaan sumberdaya air ini menjadi lebih kompleks mengingat Satuan Wilayah Sungai (SWS) atau Daerah Pengaliran Sungai (DPS) secara teknis tidak dibatasi oleh batas-batas administratif tetapi oleh batas-batas fungsional, sehingga dengan demikian masalah
koordinasi
antar daerah otonom yang berada dalam satu SWS atau DPS menjadi sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya air.

Perubahan peran Pemerintah dari institusi penyedia jasa (service provider) menjadi institusi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha (enabler) agar memiliki kemampuan dalam menyediakan kebutuhan air dan menunjang kegiatan usahanya secara mandiri dan berkelanjutan, sehingga perlu adanya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pengguna air untuk mengelola dan melestarikan potensi-potensi sumber daya air.

Pengelolaan sumberdaya air menghadapi berbagai persoalan yang berhubungan berbagai macam penggunaan dari berbagai macam sektor (pertanian, perikanan, industri, perkotaan, tenaga listrik, perhubungan, pariwisata, dan lain-lain) baik yang berada di hulu maupun di hilir cenderung semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini telah banyak menimbulkan
dispute
antar sektor maupun antar wilayah, yang pada dasarnya merupakan cerminan dari adanya
conflict of interests
yang tajam serta tidak berjalannya fungsi koordinasi yang baik.

Memperhatikan adanya ketidakseimbangan jumlah ketersediaan air diatas, maka jumlah ketersediaan air dan besarnya kebutuhan akan air perlu dikelola sedemikian rupa sehingga pemanfaatannya memenuhi kriteria keterpaduan secara fungsional ruang,  berkelanjutan,  dan berwawasan lingkungan. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air yang memadai untuk mencapai pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan berdasarkan strategi pemanfaatan ruang yang banyak ditentukan oleh karakteristik sumber daya air.

            Menurut Bisri (2009) beberapa faktor yang berkaitan dengan permasalahan sumberdaya air di Indonesia, antara lain adalah :

a. Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan dalam perspektif ruang dan waktu.

     Indonesia yang terletak di darah tropis merupakan negara kelima terbesar di dunia dalam hal ketersediaan air. Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, baik dalam perspektif jumlah maupun mutu. Ketersediaan air yang sangat melimpah pada musim hujan, yang selain menimbulkan manfaat, pada saat yang sama juga menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan berupa banjir. Sedangkan pada musim kemarau, kelangkaan air telah pula menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan lainnya berupa kekeringan yang berkepanjangan.

b. Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumberdaya air, baik air permukaan maupun ait tanah.

     Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan menyimpan air.

c. Menurunnya kemampuan penyediaan air

     Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan surface area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampang air seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku.

d. Meningkatnya potensi konflik air

e. Kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi

     Belum atau tidak berfungsinya jaringan irigasi disebabkan antara lain oleh belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum siapnya lahan sawah, ketidaksiapan petani penggarap atau terjadinya mutasi lahan. Selain itu, pada jaringan irigasi yang berfungsi juga mengalami kerusakan terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas operasi dan pemeliharaan.

f. Makin meluasnya abrasi pantai

     Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam keberadaan

     Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antar instansi dan antar daerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumberdaya air yang tidak efisien.

g. Rendahnya kualitas pengelolaan information dan sistem informasi.

     Pengelolaan sumberdaya air belum di dukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas datadan informasi yang dimiliki belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat diperlukan.

h. Kerusakan prasarana sumberdaya air

     Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dan berada di pertemuan beberapa lempeng daratan dunia mempunyai kerentanan terhadap banjir. Banjir, gempa, seismic sea wave, tanah longsor dan bencana lainnya hampir setiap tahun selalu terjadi.

Budaya Mengerti Air Guna Menanggulangi Banjir Dan Kekeringan

Kejadian kekeringan, banjir disertai tanah longsor yang terjadi di berbagai darah negeri kita tahun belakangan ini seperti Medan, Riau, Bogor, Bandung, Djakarta, Aceh, Pakanbaru, Lampung dan Banyumas nampaknya akan mulai meluas ke daerah-darah lain yang baik secara berkala telah menjadi langganan banjir, longsor dan kekeringan maupun daerah baru yang secara tiba-tiba menjadi daerah langganan baru. Dalam perkembangannya maka kita memiliki daerah langganan banjir, longsor dan kekeringan yang semakin banyak dan meluas, tanpa kita bisa berbuat sesuatu yang signifikan. Pada saat musim hujan kelebihan air dan saat musim kemarau kita sangat kekurangan air (likewise much  h2o and likewise little water).

Salah satu aspek yang maha penting yang selama ini belum kita garap secara seksama adalah aspek
water civilization.
Water Culture
diartikan sebagai kepahaman masyarakat sosial tentang masalah pemanfaatan air dan konservasi air yang ada di sekitar mereka. Di samping itu juga sebagai kepahaman masyarakat terhadap air dan seluruh sumber dan tata air serta perilaku mereka terhadap sumber dan tata air ini. Lebih jauh lagi yaitu kepahaman masyarakat tentang keterkaitan antara air dengan ekologi termasuk masalah sosial dan ekonomi (Maryono, 2005).

Selama masyarakat Republic of indonesia, baik di kota maupun di desa secara masal belum paham, dan sadar tentang keterkaitan DAS bagian hulu dan hilir, wilayah air dan ekologi, keterkaitan antara pembuangan limbah dan penurunan kualitas air sungai, keterkaitan banjir dan kekeringan, keterkaitan antara sampah-pendangkalan dan banjir, keterkaitan antara pengambilan air tanah besar-besaran dengan kekeringan dan intrusi air laut; keterkaitan antara penebangan pohon/hutan dengan banjir, longsor dan kekeringan; keterkaitan antara ekosistem sungai dengan kekeringan, banjir dan penurunan kualitas air, serta bagaimana dan dengan cara apa seharusnya mereka berperilaku terhadap air yang ada, maka usaha apapun yang dilakukan diluar peningkatan pemahaman masal ini, hanya akan sedikit membawa hasil.

Pada masyarakat tradisional baik di Jawa maupun di luar Jawa, sebenarnya telah mengenal sosio-hidraulik. Sebagai contoh di daerah pedesaan masa lalu masih banyak ditemui pola manejemen tradisional konservasi air dengan pembuatan tanggul rendah 20 – xxx cm mengelilingi areal pekarangan masing-masing untuk menangkap air hujan agar meresap ke tanah terlebih dulu sebelum masuk ke sungai dan supaya tanah pekarangan mereka tidak terkikis air. Masyarakat desa membuat sistem terasering di ladang dan tegalan mereka serta parit-parit dengan maksud menangkap air, meresapkan dan memperlambat kecepatan air sehingga menghindarkan banjir di hilir kekeringan di hulu dan erosi.

Namun perilaku masyarakat baik di darah pinggiran, pedesaan maupun perkotaan terhadap air sudah berubah total. Generasi baru tidak lagi berperilaku konservasi seperti generasi sebelumnya namun cenderung berperilaku eksploatatif. Tanah pekarangan tidak ditanggul lagi namun di flur, air hujan tidak lagi ditampung dalam galian di pekarangan-pekarangan ; sampah anorganik dari sisa tanaman kebun tidak lagi ditimbun atau dikompos. Tanaman di pinggir danau dan pinggir sungai tidak lagi dipelihara justru ditebangi.

Masyarakat kelas atas dan menengah di perumahan-perumahan umumnya tidak mempunyai kultur air. Cara-cara membudayakan kultur air menurut Maryono (2005) adalah diantaranya sebagai berikut :

1. Pendidikan formal dari SD sampai SMU dan Perguruan Tinggi mengenal pengetahuan dan implementasi kultur air serta keterkaitannya dengan lingkungan untuk semua jurusan.

2. Pendidikan non formal di masyarakat tentang pentingnya air, kegunaan air, pengelolaan air. Untuk ini perlu usaha ekstra mengaktifkan komponen masyarakat untuk kesadaran lingkungan.

3. Perlu program kultur air secara nasional untuk meningkatkan pembelajaran tentang kultur air. Program dengan skala nasional ini diadakan melalui perangkat daerah sampat di RT dan perkumpulan arisan.

4. Perlu program-plan dengan sistem pemberian reward (insentif atau dukungan finansial) kepada komponen masyarakat yang telah melakukan prinsip-prinsip pemanfaatan sekaligus konservasi air, misalnya dengan meringankan pajak.

5. Kultur air (budaya mengerti akan air) perlu dimasyarakatkan melalui memadukan dengan program-program PEMDA maupun pemerintah yang lain.

six. Perlu koordinasi antara Kementerian Kehutanan, Pertanian, Lingkungan Hidup dan Pemukiman dan Prasarana Wilayah dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) beserta alur-alur sungainya.

vii. Upaya-upaya lain baik yang bersakala mikro maupun makro untuk mendorong kesadaran budaya mengerti air secara kreatif.


Kerusakan hutan






Kerusakan lahan berhutan, yang kerap terjadi di daerah dengan kelerengan curam,






berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem sungai, yang hulunya ke arah hutan. Ini



terjadi karena dalam daur hidro-orologis terdapat suatu rantai perjalanan air: mulai saat


hujan hingga bermuara ke laut. Kawasan hutan yang dikategorikan sebagai daerah


tangkapan air hujan, merupakan bagian dari mata rantai itu. Sebab, hutan pada daerah


perbukitan dan pergunungan berfungsi sebagai penyimpan cadangan air hujan, sekaligus


penyarin yang bekerja secara alami. Proses penyaringan dari berbagai strata vegetasi,




disertai kemampuan vegetasi menahan laju erosi lapisan atas tanah, mampu mengurangi






gangguan pada ekosistem sungai secara alami pula.






Beberapa bencana seperti erosi, pendangkalan sungai di hilir, penurunan kualitas air






sungai serta kepunahan spesies, terjadi karena hutan yang berada di hulu mengalami






penggundulan. Jika dilakukan secara besar-besaran, akan mempengaruhi persediaan air






tanah pada musim kemarau. Ini terkait dengan fungsi hutan sebagai kantung (penahan)






air. Pada daerah yang gradien muka air tanahnya tinggi, daerah itu akan mudah






kekurangan air di musim kemarau. Alasannya, permukaan air sungai lebih rendah dari






permukaan air tanah.





Read:  Syarat Developer Membangun Rumah Subsidi


Akibat penggundulan hutan (deforestasi), selain berdampak pada sungai, secara tidak






langsung juga mempengaruhi pertumbuhan pohon dan tanaman. Sebab, kandungan






lengas tanah yang seharusnya cukup, menjadi berkurang karena air hujan lebih sedikit






yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah. Pengaruh lebih luas adalah berkurangnya






populasi ikan di sungai.






Kerusakan hutan dan lahan pada bagian hulu merupakan penyebab utama terjadinya



erosi dan sedimentasi pada alur-alur sungai alam sehingga mengurangi daya serap lahan


terhadap air hujan. Hal ini menyebabkan terjadinya banjir tak terkontrol di musim


penghujan dan kelangkaan air di musim kemarau. Kekeringan ini disebut sebagai


kekeringan hidrologis dengan sistem penanganan yang tidak mudah dan kompleks. Information


Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan hutan Jawa


seluas iii.289.131 ha., saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Luas lahan di dalam


kawasan hutan yang memerlukan rehabilitasi tercatat one,714 juta ha (56,7 persen) dari luas


seluruh kawsan hutan. Itu terdiri dari atas hutan lindung dan konservasi yang rusak

seluas 567.315 ha serta hutan produksi tak berpohon seluas 1.147.116 ha. Kondisi ini

diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai ix,016


juta ha. Total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta ha atau 84,sixteen persen

dari seluruh daratan Pulau Jawa (Anonim, 2009).







Konsep Konservasi Air

Konsep dasar konservasi air adalah jangan membang-buang sumberdaya air. Pada awalnya konservasi air diartikan sebagai menyimpan air dan menggunakannya untuk keperluan yang produktif di kemudian hari. Konsep ini disebut konservasi segi suplai. Perkembangan selanjutnya konservasi lebih mengarah kepada pengurangan dan pengefisienan penggunaan air dan dikenal sebagai konservasi sisi kebutuhan.

Konservasi air yang baik merupakan gabungan dari kedua konsep tersebut, yaitu menyimpan air dikala berlebihan dan menggunakannya sesedikit mungkin untuk keprluan tertentu yang produktif. Sehingga konservasi air domestik berarti menggunakan air sesedikit mungkin untuk mandi, mencuci, menggelontor toilet, dan penggunaan-penggunaan rumah tangga lainnya. Konservasi air industri berarti pemakaian air sesedikit mungkin untuk menghasilkan suatu produk. Konservasi air pertanian pada dasarnya berarti penggunaan air sesdikit mungkin untuk menghasilkan hasil pertanian yang sebanyak-banyaknya.

Konservasi air dapat dilakukan dengan cara : 1). meningkatkan pemanfaatan air permukaan dan air tanah, 2). Meningkatkan efisiensi air irigasi dan 3) menjaga kualitas air sesuai dengan peruntukannya.


Penyesuaian Kebijaksanaan Sumberdaya Air

Perlu ada penyesuaian atau reorientasi kebijaksanaan di bidang sumberdaya air yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

(1) Pengelolaan sumberdaya air yang berorientasi pada sisi persediaan (supply-side management)
perlu diorientasikan ke arah pengelolaan sumberdaya air yang memperhitungkan nilai air dalam
kaitannya dengan biaya penyediaan dan memperlakukan air sebagai barang ekonomi (
demandside direction)


(2) Kebijakan sumberdaya air yang menekankan pada pengembangan pada satu sistem irigasi perlu disesuaikan yakni menuju pengembangan dan pengelolaan air dalam satu daerah aliran sungai (DAS) yang memperhatikan keterkaitan antara berbagai pengguna air sepanjang sungai, keterkaitan antara air permukaan dan air tanah, perlindungan daerah tangkapan (catchment area)
serta mengembangkan sistem pengelolaan
i river, one management.

(3) Pengelolaan secara tersentralisasi agar dirubah menjadi terdesentralisasi yaitu dengan melibatkan berbagai pengguna khususnya kelembagaan lokal seperti P3A yang ada dalam setiap tahapan kegiatan keirigasian mulai dari perencanaan, pemeliharaan sampai pemanfaatan. Pemerintah telah menyadari akan kelemahan dari pendekatan yang tersentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya air. Oleh sebab itu, sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada P3A dalam pengelolaan jaringan irigasi. Ini terbukti dari adanya plan PIK (Penyerahan Irigasi Kecil) untuk sistem irigasi yang kurang dari 500 ha, sedangkan untuk yang di atas 500 ha petani diwajibkan membayar iuran atas pelayan irigasi (
11

IPAIR). Sebegitu jauh belum banyak ada laporan evaluasi yang mendalam tentang pelaksanaan program-progaram ini.

(4) Dalam rangka implementasi program PIK dan IPAIR perlu kiranya memotivasi petani agar menjadikan P3A sebagai lembaga irigasi yang mampu berfungsi ganda yakni selain sebagai pengelola sistem irigasi dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) tetapi juga sebagai pengelola agribisnis.

(5) Dalam pengelolaan irigasi, para petani perlu dimotivasi untuk membentuk wadah koordinasi antar P3A atau Federasi P3A baik dalam lingkungan satu sistem irigasi yang terdiri dari beberapa P3A maupun dalam lingkungan yang lebih luas yaitu daerah aliran sungai (DAS). Hal  ini dimaksudkan agar air dapat dialokasikan secara lebih adil berdasarkan kesepakatan semua P3A yang terkait. Selain itu, melalui Federasi P3A ini pengaturan dan ketentuan pola tanam dan jadwal tanam yang mendukung pemanfaatan air secara lebih efisien dan adil dapat dirumuskan bersama.

(6)

Tanggung jawab pengelolaan DAS memang seyogyanya ada dalam satu tangan. Sebab, DAS merupakan satu kesatuan topografi, satu kesatuan tata air dan satu kesatuan ekosistem dengan batas-batas geografis yang jelas sehingga wajar jika dikelola dalam satu kesatuan managemen. Dengan demikian, maka perencanaan pemanfaatan air sungai dan pengembangan sumberdaya air dalam DAS dapat disesuaikan antara kebutuhan dan potensi yang tersedia (Mahar, 1999). Meskipun otonomi segera akan diberlakukan, maka dalam kaitannya dengan pengelolaan sungai, tidak berarti bahwa tiap propinsi lebih-lebih lagi kabupaten harus diberikan kewenangan penuh dalam pengelolaannya. Ini disebabkan karena banyak sungai yang melintasi beberapa kabupaten dan bahkan beberapa propinsi. Jadi dalam hal ini tanggung jawab atau koordinasi pengelolaan sebaiknya ada di tangan pemerintah pusat untuk sungai yang melintasi beberapa propinsi dan di tangan pemerintah propinsi bagi sungai yang melintasi beberapa kabupaten.

Daftar Pustaka


Anonim. 2009. Pemakaian Air Irigasi. heatneo.blogspot.com/2009/06/pemakaian-air-irigasi.html



_______, 2009. Restorasi Ekosistem Sungai.
heatneo.blogspot.com/2009/06/restorasi-ekosistem-sungai.html



Bisri, G. 2009. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit CV. Asrori Malang. Malang.

Laporan Condition Lingkungan Hidup Indonesia.
2002
. Pengelolaan Air. Jakarta.

Maryono, A. 2005. Menangani Banjir, Kekeringan, Dan Lingkungan. Gadjah Mada Academy Press. Yogyakarta.

Makalah Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Air Melalui Pendekatan Penataan Ruang.  Makalah ini disampaikan dalam Semiloka dan Pelatihan di Universitas Islam Bandung (UNISBA). Bandung, 2 – iii Mei 2001.

Rohmat. 2010. Upaya Konservasi Untuk Kesinambungan Ketersediaan Sumberdaya Air                 (Kasus : DAS Citarum). Makalah ini disampaikan pada acara talk show dalam rangka memperingati Hari Air. “ Air Untuk Kehidupan Manusia. 22 Maret 2010.

Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi  Yogyakarta.

Dampak Pembangunan Agribisnis Pada Ekonomi Rumah Tangga Dan Wilayah

Source: https://reginabutarbutar.blogspot.com/2010/11/dampak-aktivitas-pembangunan-terhadap.html

You May Also Like