Bangunan Klinik Umum Boleh Bersatu Dengan Rumah
Keluarga
Rumah di Atas Tanah Hibah, Masuk Harta Gono-Gini?

Saya dan suami membangun rumah di atas tanah mertua saya. Dua tahun kemudian, mertua saya menghibahkan tanah itu ke suami saya. Sekarang kami akan bercerai. Apakah rumah tersebut termasuk harta bersama atau harta bawaan? Bisakah saya mendapatkan hak gono-gini atas rumah tersebut? Terima kasih.
Dilihat dari asal-usulnya, harta suami istri dibedakan menjadi beberapa macam di antaranya harta bawaan, harta masing-masing suami istri yang dimiliki setelah perkawinan, dan harta pencaharian.
Dari ketiga harta di atas, manakah yang termasuk harta bersama suami istri atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini? Lalu, bagaimana status kepemilikan rumah yang dibangun di atas tanah hibah?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa Anda dan suami beragama Islam dan tidak ada perjanjian perkawinan.
Ragam Harta dalam Perkawinan
Dilihat dari asal usulnya,
Sayuti Thalib
dalam buku
Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam
(hal. 83), membedakan harta suami istri ke dalam 3 golongan:
- Harta bawaan, yaitu harta suami istri yang telah dimiliki sebelum kawin, baik berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri.
- Harta masing-masing suami istri yang dimiliki setelah perkawinan, yaitu yang diperoleh dari hibah, wasiat, atau warisan untuk masing-masing, bukan atas usaha mereka.
-
Harta pencaharian,
yakni harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.
Dari ketiga macam harta di atas, manakah yang termasuk harta bersama suami istri atau yang biasa disebut dengan harta gono-gini? Untuk itu, kami jelaskan satu per satu terlebih dahulu.
Syirkah
dalam Hukum Islam
Dikutip dari
Kedudukan Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam, perkawinan tidak menimbulkan adanya percampuran harta antara suami istri karena harta di dalam hukum Islam bersifat private.
Meski demikian, Sayuti Thalib dalam bukunya menjelaskan terhadap harta suami istri tersebut dimungkinkan adanya
syirkah
, yaitu
pencampuran harta kekayaan
yang diperoleh suami dan/atau istri (hal. 84). Adapun harta yang bisa disyirkahkan yaitu:
- Harta bawaan;
- Harta atas usaha masing-masing/harta pencaharian;
- Harta masing-masing atas dasar pemberian wasiat, warisan, atau hibah.
Lebih lanjut, ada beberapa
cara terjadinya
syirkah
sebagai berikut (hal. 84 – 85):
- Melalui perjanjian tertulis atau diucapkan sebelum atau setelah berlangsungnya akad nikah, baik untuk harta bawaan, harta masing-masing yang diperoleh setelah kawin bukan atas usaha sendiri, atau harta pencaharian.
-
Ditetapkan dengan undang-undang/peraturan perundang-undangan, bahwa harta yang diperoleh atas usaha salah seorang suami istri atau kedua-duanya dalam masa perkawinan adalah harta bersama atau harta syirkah.
Secara hukum, harta bersama diatur dalam
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor i tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dengan demikian, pencampuran harta kekayaan suami istri (syirkah) dianggap terjadi dengan telah diaturnya ketentuan harta bersama dalam UU Perkawinan.
Sehingga, harta atas usaha bersama atau salah seorang yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin.
-
Kenyataan kehidupan suami istri
yang secara
diam-diam telah terjadi syirkah
apabila
suami istri
tersebut
bersatu membiayai kehidupan rumah tangga mereka, baik dengan mencari nafkah bersama atau melakukan pembagian pekerjaan dalam rumah tangga antara suami istri. Sehingga, telah terjadi
syirkah abdaan
di antara mereka.
Perlu dicatat, cara ini hanya khusus bagi harta bersama atau harta yang diperoleh atas usaha selama masa perkawinan.
Berdasarkan pemaparan di atas, harta Anda dan suami yang diperoleh atas usaha bersama atau salah seorang selama masa perkawinan menjadi harta bersama karena telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam hal ini, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan,
bila bercerai,
masing-masing suami istri berhak seperdua dari harta bersama.[1]
Status Kepemilikan Harta Hibah Pasca Perkawinan
Hibah
adalah
pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.[ii]
Sedangkan harta bersama suami istri sebagaimana telah dipaparkan, hanya meliputi harta yang diperoleh atas usaha bersama atau salah seorang selama masa perkawinan.
Maka
hibah bukanlah harta bersama
karena diperoleh bukan atas usaha, melainkan atas dasar pemberian. Hal ini dipertegas kembali dalam
Pasal 87 ayat (2) KHI:
Suami dan isteri
mempunyai
hak sepenuhnya
untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Menyambung pertanyaan Anda, tanah yang diberikan oleh mertua Anda kepada suami merupakan harta milik suami Anda, karena termasuk hibah atas dasar pemberian.
Status Rumah di atas Tanah Hibah
Dyah Devina Maya Ganindra dan Faizal Kurniawan
dalam jurnal
Kriteria Asas Pemisahan Horizontal Terhadap Penguasaan Tanah dan Bangunan
(hal. 230) memaparkan bahwa asas kepemilikan bangunan yang dianut dalam Hukum Pertanahan Nasional yang berlaku saat ini adalah
asas pemisahan horizontal, yaitu adanya pemisahan kepemilikan antara tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya.
Kemudian dikutip dari
Beberapa Pemikiran tentang Asas Pemisahan Horizontal dalam Pertanahan, konsekuensi asas tersebut yakni
hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
Jadi kepemilikan bangunan rumah di atas tanah yang dihibahkan kemudian itu tidak dimiliki si pemilik tanah (mertua Anda).
Di sisi lain, rumah yang dibangun oleh Anda dan suami tentu memerlukan modal besar untuk membayar jasa pembangunan, membeli material dan lain-lain.
Artinya, pembangunan rumah ini merupakan hasil atas usaha bersama atau salah satu pihak selama masa perkawinan, maka
rumah ini termasuk harta bersama.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, rumah tersebut merupakan harta bersama sehingga Anda juga berhak atas rumah tersebut bila terjadi perceraian.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan
selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor ane tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
- Dyah Devina Maya Ganindra dan Faizal Kurniawan.
Kriteria Asas Pemisahan Horizontal Terhadap Penguasaan Tanah dan Bangunan.
Jurnal Yuridika, Vol. 32 No.ii, Mei 2017; - Sayuti Thalib.
Hukum Kekeluargaan Republic of indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Printing), 2014.
[ii] Pasal 171 huruf g KHI
Bangunan Klinik Umum Boleh Bersatu Dengan Rumah
Source: https://www.hukumonline.com/klinik/a/rumah-di-atas-tanah-hibah–masuk-harta-gono-gini-lt60470a71e860c